JAKARTA, Berita HUKUM - Siang tadi Komisi Yudisial (KY) menerima laporan dari Febri Diansyah dari ICW, Erwin dari Indonesian Legal Rountable dan beberapa orang lainnya datang melapor terkait persoalan ringannya hukuman pada terdakwa Agelina Sondakh yang diputus 10 Januari 2013.
"Menurut kami mengandung kejanggalan. Beberapa kekeliruan putusan ini membahayakan Angelina Sondakh maupun semua terdakwa kasus korupsi," kata Febri Diansyah.
Menurut Febri Diansyah, Erwin dan beberapa orang yang melapor ke KY, ada dua kekeliruan mendasar dari Majelis Hakim Tipikor. Hakim tidak memerintahkan perampasan barang.
Hakim lebih memilih membuktikan pasal 15 yang mempidanakan 5 tahun penjara. Padahal, ada indikasi pasal 12 huruf a dapat digunakan.
Poin pertama, ada sejumlah fakta persidangan yang membuktikan Angie berpartisipasi aktif yakni berkomunikasi dengan Nazarudin sejak awal, dan terdakwa sadar betul menjalankan perbuatan terlarang itu.
Ini harus menjadi konsen kita kedepan agar hakim tidak memilih pasal yang meringankan. Sebab perbuatan korupsi banyak merusak sendi-sendi bangsa dan negara.
Ke depan, jika ada pejabat negara yang terbukti aktif menerima suap, maka dia harus dijerat dengan pasal 12 a maupun 12 b.
Terkait dengan pemiskinan koruptor. Keputusan hakim menolak penggunaan pasal 18 dalam kasus Angie menghambat pemberantasan korupsi. Karena pasal ini memerintahkan perampasan. Intinya, hakim keliru menggunakan pasal 18.
Bahkan jika nanti ditemukan adanya dugaan pelanggaran kode etik, maka kami minta KY untuk memprosesnya.
Selain itu, kami juga meminta MA melakukan koreksi. Kami merencanakan akan ke MA dan juga KPK, karena kami menilai ada unsur yang lemah dalam dakwaan jaksa. "Kami mendorong KY untuk menggunakan kewenangannya," cetusnya.
Terhadap kasus Angie, KY sendiri sejak awal memang melakukan pemantauan, "Karena ini kami kategorikan perkara besar," kata Suparman Marzuki selaku Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY.
Pasca putusan Angie 4,5 tahun, KY sudah melayangkan surat yang meminta salinan putusan. KY akan bekerja sama dengan MA terhadap kasus ini, dan yang jauh lebih penting adalah, tidak sedikit putusan hakim juga dilatarbelakangi keterbatasan kemampuan, komitmen, dan cara pandang hakim dalam menangani perkara.
KY memaknai bukan hanya peningkatan ilmu pengetahuan. Banyak hakim nyaman bekerja dengan status quo (posisi yang tetap) sehingga tidak mau membuat lompatan.
"Hakim itu memutus sesuai fakta di lapangan. Semestinya hakim bisa bertindak adil, masyarakat tentu sangat ingin merasakan kebijakan hakim," kata Dr Ibrahim SH MH kepada pewarta BeritaHUKUM.com, Senin (28/1) di lantai 4 gedung Komisi Yudisial.(bhc/mdb) |