JAKARTA, Berita HUKUM - Permasalahan program REDD+ (Reducing Emission From Deforestation and Degradation) atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) masih terhambat, sehingga memerlukan kerjasama lebih lanjut dari berbagai pihak seperti parlemen, organisasi masyarakat sipil dan juga peran swasta.
Hal ini mengemuka dalam kunjugan teknis BKSAP DPR ke Norwegia dan menggelar pertemuan dengan beberapa pemangku kepentingan utama program REDD+ seperti Kementerian Iklim dan Lingkungan Norwegia, NICFI (Norway's International Climate and Forest Initiative) dan juga organisasi masyarakat sipil Rainforest Foundation Network Norway.
Program REDD+ merupakan kerjasama antara Norwegia dan Indonesia dalam memerangi deforestasi dari hutan sampai saat ini baru mencapai tahap I ataupun tahap persiapan. "Berlakunya moratorium dan pembentukan Badan Restorasi Gambut yang dicanangkan Jokowi memberikan kemajuan yang sangat positif untuk memajukan program REDD," ujar Mr. Vidar Hegelsen selaku Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia dan juga Mr. Per Pharo selaku ketua NICFI (Norwegian International Climate and Forest Initiative) di dalam pertemuan yang dilakukan pada, Rabu ( 20/4).
Menurut delegasi BKSAP, Siti Hediati Soeharto (F-PG), Indonesia berkomitmen untuk melanjutkan program REDD+ bersama-sama Norwegia di bawah kerangka UNFCCC. "Namun begitu kami melihat bahwa pembentukan badan yang dapat menerima pendanaan REDD+ secara transparan merupakan salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan pemerintah selanjutnya. Pendanaan REDD+ yang selama ini disalurkan melalui UNDP tidak efektif untuk membangun sistem pendanaan yang dapat diawasi parlemen," katanya, di sela-sela pertemuan dengan Kementerian Lingkungan.
Pada kesempatan lainnya, delegasi BKSAP DPR RI juga menegaskan pentingnya pola konsumsi yang bertanggung jawab dari negara maju, untuk mengurangi deforestasi yang terjadi karena perubahan lahan hutan menjadi lahan produktif.
"Indonesia merupakan eksporter terbesar dari minyak kelapa sawit yang merupakan salah satu faktor pendorong perubahan lahan hutan dan gambut. Tetapi dunia internasional sering lupa bahwa produksi minyak kelapa sawit tersebut lebih banyak didorong oleh meningkatnya konsumsi dari masyarakat internasional untuk minyak kelapa sawit."
Hal ini tidak dapat menjadi permasalahan satu negara saja, tetapi membutuhkan kerjasama lebih lanjut dari segijoint research mengenai diversifikasi minyak kelapa ataupun peningkatan kapasitas untuk mencapai sertifikasi RSPO (Responsible Sourcing of Palm Oil)," tegas Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (F-Gerindra), di dalam pertemuan dengan Kementerian Luar Negeri Norwegia.
Peran masyarakat adat di dalam menjaga kelestarian hutan juga menjadi salah satu sorotan lainnya di dalam pertemuan dengan organisasi masyarakat sipil, Rainforest Foundation Network Norway. Menurut delegasi BKSAP, Irine Yusina Purbo (F-PDIP), peningkatan kesadaran anggota parlemen kepada pengakuan masyarakat adat perlu dilakukan untuk mendukung pembahasan RUU Hak-Hak Masyarakat Adat.
"Pembahasan RUU tersebut telah tertunda dan saat ini tidak termasuk dalam Prolegnas selama beberapa periode karena kurangnya kesadaran anggota parlemen terhadap peran masyarakat adat. Kita dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil untuk memberikan edukasi kepada anggota parlemen mengenai isu tersebut," ujarnya.
Ketua BKSAP Dr. Nurhayati Ali Assegaf, (F-PD) yang juga Ketua Panja SDGs menyatakan bahwa sosialisasi mengenai hak masyarakat adat juga perlu digalakkan di level daerah. "Daerah memegang peran penting di dalam pelaksanaan undang-undang secara nasional semenjak desentralisasi yang mulai pada tahun 1998. Peran masyarakat adat yang sudah diakui secara nasional, perlu didorong untuk dijalankan secara serius oleh daerah."(BKSAP,mp/dpr/bh/sya) |