PALU, Berita HUKUM - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah merasa heran dengan kasus-kasus tambang yang membabat hutan di Sulteng oleh perusahaan tambang, namun tidak di usut dengan tuntas oleh pihak berwajib. Padahal, hal itu jelas-jelas masuk dalam rana tindak pidana kehutanan. Demikian disampaikan Rifai Hadi, Manager Riset dan Kampanye Jatam Sulteng dalam rilisnya, Minggu (3/11).
Menurut hasil monitoring Jatam Sulteng, bahwa tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh perusahaan tambang, rata-rata tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari Kementerian Kehutanan.
Ada beberapa perusahaan tambang yang terindikasi melakukan tindak Pidana kehutanan, adalah sebagai berikut:
Pertama, PT. Indonesia Eka Risti Alfa, PT. Tunas Kasih, PT Andhika Bhakti, PT. Inti Cemerlang, PT. Promistis, PT. Sumber Mas, dan PT. Era Moreco. yang kesemuanya adalah anak perusahaan dari PT Sulawesi Molybdenum Management. Perusahaan tambang itu berada ke Kecamatan Dondo, Tolitoli, yang menguasai Total penggunahan lahan konsesi seluas 39.005 Hektar. Yang parahnya, sebagian besar izin tersebut berada dalam wilayah Cagar Alam Tinombala yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 339/Kpts-II/1999 tanggal 24 Mei 1999 dengan luas 37.106,12 ha.
Kedua, PT Bintang Delapan Mineral di Kabupaten Morowali, yang membabat hutan diduga tidak memiliki IPPKH. Hal itu dilakukan di Blok 4 dan blok 8. PT BDM hanya mengantongi IPPKH seluas 138 Hektar diarea blok 2A; Ketiga, PT Vale Indonesia, yang membabat hutan di blok Zeba-zeba Kabupaten Morowali, yang juga tidak memiliki IPPKH.
Dari kasus diatas, sampai hari ini, tidak pernah di usut tuntas oleh pihak kepolisian. Sementara, hutan terus-menerus di babat, yang mengakibatkan pada kerusakan ekologi dan mencelakakan manusia.
Padahal jelas, bahwa kawasan hutan perusahaan tidak bisa melakukan kegiatan, jika tidak memiliki IPPKH dari kementerian, sesuai dengan Pasal 134 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang menyebutkan bahwa “kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sebelum memperoleh izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mengatur bahwa “setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.”
Jika demikian, mestinya perusahaan-perusahaan tambang yang diduga telah melanggar harus diusut tuntas. Jika dibiarkan demikian, maka kasus yang sama akan terjadi lagi. Sementara, hutan kita semakin gundul.
Olehnya, pihak kepolisian mesti jelih dan harus mengusut tuntas kasus tindak pidana itu, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Dan, Jatam Sulteng mendesak untuk moratorium izin tambang untuk keselamatan rakyat.(rif/jtm/bhc/sya)
|