JAKARTA, Berita HUKUM - Salamuddin Daeng sebagai pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) angkat bicara, seraya memberikan analisa pasca pemaparan hasil survei jajak pendapat yang disampaikan riset Lembaga Kajian Pemilih Indonesia (LKPI) saat jumpa pers bertema "Menguji Suara Masyarakat Indonesia terhadap Capres-Cawapres Pada Pilpres 2019," di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (5/4).
Dirinya, meskipun tidak terlalu mengerti riset dan survei mengatakan bahwa, ini bukan riset pertama yang mengagetkan, dimana sebelumnya ada riset yang menyebutkan Prabowo Subianto menang, kata Salamudin.
"Riset Kompas dan kalian ini LKPI, cukup mengagetkan publik, mestinya bila Jokowi mau rubah posisi ini, merubah posisinya sebagai Presiden daripada sebagai calon Presiden. Dari sektor ekonomi, kenaikan BBM, tarif listrik, dan suku bunga tinggi dimana hutang yang mana semakin tinggi, kontraproduktif," jelas Salamudin, Jumat (5/4).
"Memang bukan hanya media sosial (medsos), kenyataan lapangan, baik sedari antusiasme massa pendukung Jokowi dan Prabowo, gairahnya lebih besar massa pendukung Prabowo Subianto nampaknya," ungkapnya kembali.
Hal tersebut, menurut Daeng terlihat bentuk-bentuk partisipasi publik bahkan, baik menyambut dan menyongsong. Selain itu, pihak pertahana juga menyadari bahwasanya ada keinginan pemimpin baru.
Selain itu, ungkap Pengamat Ekonomi Politik tersebut mengutarakan bahwa, "kalau Jokowi lebih serius sebagai calon Presiden, ketimbang jadi Presiden. Padahal belum berkuasa, dimana sebenarnya masih bisa mengeksekusi kebijakan populis. Seperti, tingkatnya daya beli, suku bunga tinggi, kredit macet bertambah," cetusnya.
Sebagian besarnya mobilisasi, ini dari penglihatan secara kasat mata saja. Kitapun bisa merasakan, dan pihak pertahana.. Jokowi sangat kelihatan dimana saat ini masih berkuasa. Kalau dia serius dalam menyelesaikan dia kerjakan kebijakan populis.
"Turunkan harga listrik, harga batu bara, konsumsi Harga BBM, dimana harga minyak sudah turun. Padahal apabila mengeluarkan kebijakan populis seperti itu Joko Widodo gak usah takut, elektabilitas akan naik lagi," ujar Salamudin
Saat ini dia (Joko Widodo: red) sedang 'confuse', timpal Salamudin.
"Mestinya dia lebih serius menjadi Presiden. Sebenarnya pendukung Prabowo ini, yang bukan tidak mau Jokowi nya. Ini aneh bagi saya bukan menghasilkan dampak positif, kecurigaan publik ini bisa naik, seandainya dia melakukan cuti ini bisa berbalik," jelas Salamudin.
Jadi menurut Salamudin yang menjadi 'kata kunci' ialah apabila dia (Joko Widodo) mau saja melakukan (cuti) ini akan terbebas dari tuduhan melakukan kecurangan. "Maka untuk bebas, dia ambil cuti, maka opisisi gak akan ambil hak lagi untuk menuduh," tegasnya.
Disamping itu, menurut Salamudin bahwa penampilan Jokowi saat tahun 2014 nampak seperti orang yang sederhana, namun kini mempersonifikasikan Jokowi lain sekali.
Ini pasti studinya semakin sulit memperoleh image seperti itu, melihat patahana akan sulit sekali. bahkan orang dilingkarannya ditangkap oleh KPK. "Padahal kalau saja sekali kali minta maaf. Soalnya, orang Indonesia ini rada-rada sensitif, semestinya tidak usah takut, lepas-lepas saja," pungkasnya.
Sementara, berdasarkan pemaparan hasil riset dan jajak pendapat Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI) bahwa, pada prosentase Pilpres 2019 yang tak lebih hanya dari dua pekan kedepan tepatnya jatuh pada, Rabu 17 April mendatang, hasil kalkulasinya menurut Tubagus Alvin selaku Direktur Eksekutif LKPI menyatakan, Paslon no urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno terpilih sebagai Presiden baru Republik Indonesia (RI) periode 2019-2024.
"Hasil Kesimpulan Pilpres 2019 diprediksi Joko Widodo - Maruf Amin kalah oleh Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dimana tingkat elektabilitas pasangan Joko Widodo-Maruf Amin berkisar 40,9 persen dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mencapai 58,1 persen dan sebanyak 1 persen tidak memilih," papar Tubagus Alvin sebagai Direktur Eksekutif LKPI menjelaskan saat jumpa pers pada, Jumat (5/4).
Adapun faktor penyebab kemerosotan pasangan no urut 01 sebagai patahana, menurutnya diakibatkan oleh sebanyak 58,1 % berpendapat bahwa, "Negara Indonesia saat ini sedang berjalan ke arah yang salah. Seperti misalnya, bertambahnya Hutang Negara, Tingginya tingkat korupsi yang kian merajalela, mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia, serta maraknya 'jual beli' jabatan di Pemerintahan dari tingkat desa sampai ke tingkat pusat." jelasnya.
Selain itu, menurunnya tingkat pendapatan dan perekonomian keluarga yang sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebesar 85,5 % selama kurun waktu 4 tahun terakhir ini.
Ditambah lagi, faktor lainnya menurut Direktur Eksekutif LKPI tersebut menyebutkan ketidakpuasan masyarakat dalam keadaan Negara yang saat ini di bawah kepemimpinan Joko Widodo seperti; berkembangnya ideologi hilafah yang sangat meningkat, sehingga mengancam ideologi Pancasila dan suburnya politik identitas dalam kehidupan sosial politik. Hal ini tercermin dalam temuan survey sebanyak 79,1 % sehingga mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat mencapai 65,6 %.(bh/mnd) |