ACEH UTARA, Berita HUKUM - Rakyat Aceh saat ini telah menantikan Qanun Bendera dan Lambang segera disahkan oleh Mendagri. "Tidak ada alasan dan tawar menawar lagi Mendagri menolak qanun tersebut," kata Ketua KPA/PA wilayah Pasee Aceh Utara, Tgk Zulkarnaini ben Hamzah saat ditemui pewarta BeritaHUKUM.com, Selasa (19/3)
Menurutnya, qanun tersebut merupakan qanun yang sekian tahun lamanya diperjuangkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta rakyat Aceh itu bisa terwujud di bumi seurambi mekkah ini. Dikatakanya bahwa rakyat Aceh masih mengharapkan bendera “Bintang Bulan” berkibar.
Imbuhnya, dengan berkibarnya bendera bulan bintang tersebut bukan sebagai kemerdekaan untuk berpisah dengan RI, melainkan hal itu sebagai tanda telah tercipta kedamaian Aceh dengan NKRI. Karenanya diharapkan kepada pemerintah untuk menyetujui bendera “Bintang Bulan” berkibar di Aceh berdampingan dengan bendera RI.
Ketua komite peralihan Aceh yang akrab disapa Tgk Ni saat disinggung mengenai bendera “Alam Peudeung” menjelaskan bahwa, bendera tersebut secara historis memang merupakan bendera perjuangan pada masa kesulthanan Aceh. Namun yang masuk dalam MoU di Helsinky adalah bendera perjuangan “Bulan Bintang”.
"Yang merintis bendera bulan bintang tersebut ialah Tgk Muhammad Hasan Ditiro pada tahun 1976, dan ini yang tengah kita perjuangkan," sebut Tgk Ni
Memang klausul qanun bendera dan lambang ini banyak pihak-pihak yang merasa tidak senang untuk disahkan. Namun perlu diketahui juga, bintang bulan bukanlah bendera separatis, buktinya bendera ini masuk atau diterima di dalam MoU.
Jika ada orang-orang yang tidak senang dengan bendera “bintang bulan” ini, berarti mereka tidak senang dengan perjuangan-perjuangan Aceh masa lampau. Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada berbagai elemen masyarakat agar jangan salah persepsi dengan bendera ini, demikian Tgk Zulkarnaini.(bhc/sul)
|