JAKARTA, Berita HUKUM - Konon anggaran “subsidi” BBM pada 2013 mencapai Rp 199,9 triliun untuk 43,5 juta KL BBM yang terdiri atas Premium (26,05 juta KL), Solar (17,22 juta KL) dan Bahan Bakar Nabati (0,23 juta KL). Ahmad Safrudin selaku Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) atau Indonesia Effort For Environment mengatakan, jika harga minyak naik terus, maka 'subsidi' BBM akan semakin memberatkan APBN atau menyedot devisa negara.
“Bersubsidi itu manipulatif, dengan memainkan disparitas kualitas BBM yang tak sesuai specifikasi kualitas BBM di pasar yang dijadikan patokan harga? Mengapa Presiden Joko Widodo bermaksud menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia turun," terang Ahmad Safrudin, disaat acara jumpa pers di kawasana Sarinah, Jakarta Pusat, Rabu (5/11).
Karena menurutnya, bahwa akhir-akhir ini harga Crude Oil di pasar international cenderung terus menurun setelah mencapai puncaknya pada tahun 2007/2008. Kemudian terjadi fluktuasi hingga saat ini, sehingga per hari ini berada di posisi USD 78/BBL
Berapa harga pokok produksi BBM “Bersubsidi”?
"Benarkah harga BBM di Indonesia paling murah di dunia? Pertanyaan ini tentunya perlu kita sampaikan kepada Pemerintah dan Pertamina sebagai bentuk gugatan atas tidak transparannya penetapan Harga BBM 'Bersubsidi," tegasnya.
Namun, meskipun terkesan BBM 'Bersubsidi' paling murah dibandingkan dengan harga BBM di Negara lain. Jangan salah, bahwa, negara lain mungkin harga BBM relatif lebih mahal tetapi juga dengan kualitas yang lebih tinggi serta pendapatan perkapita masyarakatnya yang juga lebih tinggi.
Di Amerika Serikat misalnya harga Bensin dipatok US$ 3.9/USG atau 98 cent/L atau setara dengan Rp 10.750/L, namun pada level harga ini BBM-nya berkualitas Category 4 -untuk meggerakkan kendaraan berstandar Euro 5- berdasarkan Standard WWFC (World Wide Fuels Charter). Yaitu kualitas BBM yang ditetapkan oleh Asosasi Industri Mobil dan Industri Minyak sedunia. Sementara Premium di Indonesia yang dipatok dengan harga Rp 6.500/L kualitas tidak masuk Categori 1 pun Standard WWFC, sehingga tidak bisa (comply) untuk menggerakkan kendaraan Standard Euro 1.
"WWFC menetapkan kualitas BBM dengan Categori 1, 2, 3, 4 di mana semakin tinggi angka penanda Categori ini maka kualitasnya juga semakin baik. Sebagai catatan, Pertamax dan Pertamax Plus serta Perta-Dex masuk Category 2 WWFC," kata Ahmad lagi.
Selama ini penetapan harga BBM bersubsidi menggunakan acuan MOPS (Mid Oil Plats Singapore). Yaitu harga rata-rata menurut MOPS ditambah dengan alpha sebagai profit margin bagi Pertamina.
Terangnya, Per-Juni 2014 misalnya saat harga crude oil dunia pada level US$ 108/BBL, harga Bensin menurut MOPS adalah Rp 8.754/L, yaitu Bensin dengan kualitas RON 92, kadar Benzene maks 2,5%, kadar Aromatic maks 40%, kadar Olefin maks 20% dan kadar belerang maks 500 ppm atau ringkasnya Bensin ini berkualitas seperti Pertamax. Tentunya harga Bensin di atas tidak fair (adil) dan un-comparable jika digunakan sebagai patokan penetapan harga Premium yang kualitasnya lebih rendah (RON 88, kadar Benzene 5%, kadar Aromatic d0%, kadar Olefin 35%.
Kami sepakat bahwa, harga BBM ditetapkan secara rasional dan realistis namun jangan menggunakan acuan harga BBM di negara yang tidak memiliki competitive advantages berupa sumber dan kilang minyak bumi (refinery). Apalagi menggunakan harga BBM yang kualitasnya berbeda. Untuk itu, perlu dibuka transparansi kebijakan penetapan harga BBM 'Bersubsidi' karena kami menduga ada manipulasi di dalam penetapan harga BBM 'bersubsidi', di mana Pemerintah dan Pertamina menggunakan acuan harga BBM yang kualitasnya lebih tinggi, sebagai dijelaskan di atas yang tentu memiliki harga pokok yang berbeda.
Adapun tuntutan dari KPBB ini;
• Penetapan harga Premium harus dihitung berapa real production cost (harga pokok produksi) dengan melandaskan biaya crude oil sesuai dengan mutu dan sumbernya (domestik atau import), biaya pengolahan dan biaya overhead serta profit margin yg wajar; dan atau biaya pokok impor produk BBM ditambah profit margin yang wajar.
•Penetapan harga pokok produksi Premium jangan menggunakan acuan harga pokok produksi BBM yang berbeda kualitas.
•Jika memang Pemerintah berniat mengabaikan situasi sosial ekonomi masyarakat dengan mengambil kebijakan menaikan harga BBM, Pemerintah harus meningkatkan (up grade) terlebih dulu kualitas BBM (Premium dan Solar Reguler) agar memenuhi syarat kebutuhan kendaraan bermotor yang diadopsi di Indonesia (Standar Euro 2) baru kemudian melakukan penyesuaian (adjustment) harga sesuai dengan up grade kualitas tsb. Jika memaksakan menaikkan harga BBM dengan kualitas yang ada, itu berarti manipulasi dan menzalimi warga negara (rakyat).
•Jika Pemerintah memang berniat mengumpulkan uang dari sektor MIGAS untuk sudsidi sector pendidikan kesehatan dll, sebaiknya ditempuh dengan cara yang baik dan tidak melawan hukum, misalnya menerapkan pajak emisi (emissions tax, carbon tax) sebagai tambahan pajak BBM yang telah diterapkan selama ini.(bhc/bar) |