Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
White Crime    
Kasus E-KTP
KPK Tahan 2 Tersangka Korupsi Pengadaan e-KTP, Diduga Merugikan Rp2,3 Triliun
2022-02-04 09:48:55
 

 
JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara, Isnu Edhy Wijaya, setelah mengumumkannya sebagai tersangka korupsi e-KTP pada Agustus 2019.

Isnu ditahan selama 20 hari terhitung mulai Kamis (3/2) hingga 22 Februari 2022 di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK pada Pomdam Jaya Guntur.

Ia ditahan berbarengan dengan tersangka lain yakni Husni Fahmi selaku Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) atau PNS BPPT.

Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, mengungkapkan peran Isnu dalam korupsi yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun tersebut.

Lili berujar, setelah ada kepastian akan dibentuknya beberapa konsorsium untuk mengikuti lelang e-KTP, sekitar Februari 2011 Isnu bersama dengan pengusaha Andi Agustinus menemui pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto dengan maksud agar salah satu dari konsorsium dapat memenangkan proyek e-KTP.

Irman lantas menyetujui dan meminta ada komitmen berupa pemberian uang kepada anggota DPR.

Setelah ada pengumuman pekerjaan penerapan e-KTP Tahun Anggaran 2011-2012, tepatnya pada 28 Februari 2011, Isnu, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos, dan perwakilan vendor-vendor lainnya membentuk konsorsium PNRI sebagai salah satu dari tiga konsorsium yang dibahas.

"Sebelum konsorsium dibentuk, Anang Sugiana Pemilik PT Quadra Solutions menemui ISE [Isnu Edhy Wijaya] di kantor PNRI untuk menyampaikan keinginannya mengikuti pelaksanaan proyek e-KTP," kata Lili.

Dalam pertemuan itu, Isnu disebut menyampaikan pada Anang bahwa proyek e-KTP pada Kemendagri merupakan 'milik' Andi Agustinus. Kemudian, Anang, Andi, Paulus Tannos, dan Isnu melakukan pertemuan di kantor PNRI.

Pada pertemuan itu, Anang menyampaikan bahwa PT Quadra Solution bersedia bergabung di Konsorsium PNRI. Andi, Paulus Tannos dan Isnu menyampaikan apabila ingin bergabung dengan Konsorsium PNRI maka ada komitmen fee untuk pihak lain sebesar 10 persen dengan rincian yaitu 5 persen untuk DPR dan 5 persen untuk pihak Kemendagri.

"Kemudian disanggupi oleh Anang Sugiana," tutur Lili.

Lili mengatakan Isnu juga bertemu dengan Husni Fahmiuntuk konsultasi masalah teknologi dikarenakan BPPT sebelumnya melakukan uji petik e-KTP pada tahun 2009. Seiring waktu berjalan, Isnu mengundang Husni untuk melakukan presentasi tentang teknologi e-KTP pada pertemuan di Fatmawati. Pada saat itu, Isnu bertindak sebagai Ketua Konsorsium PNRI.

"Pemimpin Konsorsium disepakati berasal dari BUMN yaitu PNRI agar mudah diatur karena dipersiapkan sebagai konsorsium yang akan memenangkan lelang pekerjaan penerapan e-KTP," lanjut Lili.

Isnu diduga juga bertemu Andi, Johannes Marliem dan Paulus Tannos untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5 persen sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri.
Berdasarkan kesepakatan hasil pertemuan itu, Perum PNRI bertanggung jawab memberikan fee kepada Irman dan stafnya sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh.

Lili bilang ada rentang waktu 2 bulan yakni April-Juni 2011 saat Paulus Tannos, Isnu, dan pihak vendor dalam konsorsium melaksanakan beberapa pertemuan untuk membahas harga barang dan margin keuntungan yang diharapkan sehingga bisa diajukan harga penawaran.

"ISE [Isnu] bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pekerjaan dengan nilai kurang lebih Rp5,8 triliun," kata Lili.

"Pada tanggal 30 Juni 2011, Sugiharto menunjuk konsorsium PNRI selaku pelaksana pekerjaan penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional (e-KTP) tahun anggaran 2011-2012," sambungnya.

Untuk melaksanakan kontrak, Isnu membentuk manajemen bersama dan membagi pekerjaan kepada anggota konsorsium. Ia juga mengusulkan adanya ketentuan setiap pembayaran dari Kemendagri untuk pekerjaan yang dilakukan oleh anggota konsorsium akan dipotong 2-3 persen dari jumlah pembayaran sebagai kepentingan manajemen bersama.

Padahal, di dalam rincian penawaran senilai Rp5,8 triliun tidak ada komponen tersebut dan seharusnya semua pembayaran digunakan untuk kepentingan penyelesaian pekerjaan.

Hasil pemotongan itu diduga digunakan untuk membiayai hal-hal di luar penawaran dan digunakan untuk operasional manajemen bersama Konsorsium PNRI.

Pemotongan sebesar 3 persen tersebut pada akhirnya memengaruhi pelaksanaan pemenuhan presentasi Perum PNRI.

Semua pekerjaan dalam kontrak tersebut tidak dapat disubkontrakkan kecuali terdapat izin secara tertulis dari Sugiharto selaku PPK. Namun, konsorsium PNRI terbukti mensubkontrakkan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan tertulis dari Sugiharto.

"Selain itu, dalam pelaksanaannya, konsorsium PNRI juga tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak," ucap Lili.

Peran Husni Fahmi

Sementara Husni Fahmi diduga sempat menemui sejumlah pihak seperti Irman, Sugiharto, hingga Andi Agustinus. Padahal, Husni dalam hal ini adalah ketua tim teknis dan juga panitia lelang.

Dalam satu pertemuan, Husni diduga ikut mengubah spesifikasi, Rencana Anggaran Biaya (RAB), dan seterusnya dengan tujuan mark up. Husni sering melapor kepada Sugiharto.

Dalam prosesnya, Husni disebut tetap meluluskan tiga konsorsium yang dalam Proof of Concept tidak memenuhi syarat wajib yakni mengintegrasikan Hardware Security Modul (HSM) danKey Management System (KMS).

Padahal, Proof of Concept merupakan beauty contest yang bertujuan untuk menguji apakah barang yang ditawarkan bisa berfungsi dengan
baik atau tidak.

"Dalam perkara ini, kerugian keuangan negara kurang lebih sebesar Rp2,3 triliun," ungkap Lili.

Atas perbuatannya, baik Husni maupun Isnu disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam perkara ini, kerugian keuangan negara kurang lebih sebesar Rp2,3 Triliun.
KPK telah menetapkan ISE dan HSF sebagai tersangka sejak Agustus 2019. Kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

KPK selanjutnya melakukan penahanan terhadap tersangka ISE dan HSF untuk 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 3 s.d 22 Februari 2022 di Rutan Cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur.

Penahanan Tersangka pada perkara e-KTP ini sebagai wujud komitmen kuat KPK untuk terus melakukan pemberantasan korupsi. KPK akan mengembangkan penanganan setiap perkara sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam perkara korupsi tidak bisa lolos dari hukuman.

Komitmen KPK untuk mengusut perkara korupsi sampai tuntas ini dilakukan secara profesional dan berdasarkan kecukupan bukti. Hal ini sebagai upaya penegakkan hukum yang berkeadilan demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju, makmur, sejahtera, bersih dari korupsi.(ryn/pmg/CNNIndonesia/KPK/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Kasus E-KTP
 
  Agus Rahardjo Ungkap Saat Jokowi Marah, Minta KPK Setop Kasus E-KTP
  KPK Tahan 2 Tersangka Korupsi Pengadaan e-KTP, Diduga Merugikan Rp2,3 Triliun
  Ganjar Dilaporkan ke KPK, PDIP Anggap Sebagai Dinamika Pilpres 2024
  KPK Tetapkan 4 Orang Tersangka Baru dalam Perkara E-KTP
  Pemberian KTP-el Kepada WNA Harus Ditinjau Ulang
 
ads1

  Berita Utama
Dasco Gerindra: Prabowo dan Megawati Tak Pernah Bermusuhan, Saya Saksinya

Pengadilan Tinggi Jakarta Menghukum Kembali Perusahaan Asuransi PT GEGII

Presidential Threshold Dihapus, Semua Parpol Berhak Usulkan Capres-Cawapres

Kombes Donald Simanjuntak Akhirnya Dipecat dari Polri Buntut Kasus DWP

 

ads2

  Berita Terkini
 
Diungkap Mintarsih Abdul Latief: Banyak Perusahaan Didirikan Purnomo Prawiro Sudah Bangkrut!

Dasco Gerindra: Prabowo dan Megawati Tak Pernah Bermusuhan, Saya Saksinya

Tiga Alasan Kenapa Klaim JRP Bangun Pagar Laut Dinilai tak Logis, dari Mana Duit Nelayan?

Jangan Lupakan Pesantren dan Madrasah Jadi Penerima Manfaat Program Makan Bergizi Gratis

Pemerintah Tarik Utang Rp 85,9 Triliun Lebih Awal untuk Biayai Anggaran 2025

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2