JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI disebut-sebut gagal dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang jujur, transparan, akuntabel dan bermartabat. Hal itu diungkap oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) setelah menganalisa proses tahapan pelaksanaan Pemilu 2024.
"Kami (ICW dan KontraS) melakukan pengumpulan data serta analisis atas berbagai fenomena yang terjadi berkaitan dengan permasalahan dalam penyelenggaraan sistem Pemilihan Umum (Pemilu), kekerasan hingga kecurangan," kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha dikutip dari laman kontras.org, Sabtu (24/2).
Adapun berbagai catatan kami (ICW dan KontraS) sebagai berikut:
Pertama, KPU RI gagal dalam memberikan keterbukaan informasi dana kampanye Pemilu 2024 kepada publik. KPU menyediakan portal informasi Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka) yang tidak mendukung penyediaan informasi dana kampanye yang transparan dan akuntabel. Sebabnya, portal tersebut tidak memberikan rincian secara detail mengenai penerimaan dan pengeluaran dana kampanye.
Menurut ICW dan KontraS, informasi yang merinci penting untuk diketahui oleh publik, agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mengawasi aliran dana yang digunakan selama proses kampanye. Pelaporan yang dilakukan secara detail dan transparan, berguna untuk mengetahui serta mencegah masuknya dana-dana ilegal, dan sumbangan lain yang tidak sesuai ketentuan. Pencegahan tersebut tentu sulit dilakukan jika informasi dana kampanye yang disediakan tidak rinci dan terbuka.
"Tertutupnya informasi dana kampanye ini sangat berpotensi menjadi cikal bakal terjadinya praktik korupsi di kemudian hari," ujar Egi.
Lebih jauh, Sikadeka (sistem informasi berbasis web digunakan untuk membantu dalam mengelola kegiatan kampanye, pelaporan dana kampanye peserta Pemilu 2024) juga berkali-berkali mengalami down yang mengakibatkan publik tidak dapat mengakses informasi mengenai dana kampanye. Padahal dalam masa kampanye, utamanya mendekati hari pemungutan suara, informasi dana kampanye penting diketahui agar publik bisa mengambil keputusan berdasarkan kepatutan kandidat ataupun parpol dalam melaporkan dana kampanye.
Kedua, KPU RI gagal dalam memberikan keterbukaan informasi penghitungan suara Pemilu 2024 kepada publik. Serupa dengan keterbukaan informasi dana kampanye, dalam hal penghitungan suara KPU menyediakan portal informasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang tidak layak diakses oleh publik.
"Kegagalan KPU berakibat pada kekisruhan meluas dalam penghitungan suara dan berpotensi dimanfaatkan untuk melakukan praktik kecurangan," tukasnya.
Selain itu, dalam pantauan ICW dan KontraS terhadap seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Indonesia, terdapat selisih suara pemilihan presiden dalam jumlah besar yang disebabkan kerusakan dalam Sirekap. Jumlah suara dalam Formulir C1 yang diunggah melalui Sirekap berubah dan melonjak sehingga tidak mencerminkan perolehan suara yang asli.
"Pemantauan sepanjang 14 Februari 2024-19 Februari 2024 menemukan adanya selisih antara Sirekap dan formulir C1 pada 339 TPS sebanyak 230.286 suara," bebernya.
Selanjutnya, kegagalan Sirekap (perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi untuk mempublikasi hasil penghitungan suara) dalam menyediakan informasi yang akurat berujung pada kontroversi meluas dan dugaan kecurangan melalui portal tersebut. Penghitungan suara sempat dihentikan selama dua hari akibat kisruh Sirekap. Perlu dicatat bahwa KPU menyatakan Sirekap tidak dijadikan landasan perhitungan suara, sehingga penundaan perhitungan suara menimbulkan pertanyaan besar. Terlebih lagi penundaan diputuskan melalui proses yang tidak patut, yaitu hanya melalui instruksi lisan.
"Penundaan perhitungan suara tanpa proses yang patut berpotensi membuka praktik kecurangan perhitungan suara," sebutnya.
"Kendati Sirekap tidak dijadikan acuan untuk penghitungan suara, cacatnya Sirekap menunjukkan kegagalan KPU dalam menyediakan informasi publik. KPU menyajikan portal keterbukaan informasi yang tidak siap untuk diakses oleh publik. Padahal anggaran yang berasal dari pajak yang dibayarkan oleh publik sebesar Rp 3,5 miliar telah dihabiskan untuk Sirekap," tambahnya.
Ketiga, banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia saat dan pasca Pemilu 2024 menandakan bahwa KPU RI gagal lakukan evaluasi secara serius. Dimana lima tahun lalu, terdapat 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal secara misterius dan setidaknya 5175 orang tercatat sakit.
"Per tanggal 21 Februari 2024 (seminggu pasca Pemilu), angka kematian petugas Pemilu 2024 telah mencapai setidaknya 94 orang, sementara lebih dari 13.000 lainnya tercatat sakit. Jumlah ini tentu saja bukan angka final, sebab masih memiliki posibilitas untuk terus bertambah, mengingat ribuan orang yang masih dirawat," ungkapnya.
Keempat, Pemilu belum bebas dari fenomena intimidasi dan kekerasan. Pemilu yang diwacanakan riang gembira nampaknya tak sesuai dengan realita di lapangan. Berbagai kasus intimidasi hingga kekerasan yang berkaitan dengan kepentingan politik elektoral masih terus mewarnai jalannya Pemilu 2019, bahkan hingga pasca Pemilu.
"Kami menemukan setidaknya 18 peristiwa berkaitan dengan kekerasan (Politically motivated violence) dengan rincian penganiayaan 13 peristiwa, bentrokan 5 peristiwa dan intimidasi 8 peristiwa. Jumlah korban yang muncul dari rangkaian tindakan kekerasan dan intimidasi tersebut yakni setidaknya 80 orang luka-luka dan 4 lainnya meninggal dunia," cetusnya.
Kelima, berbagai dugaan kecurangan yang muncul dalam Pemilu terjadi secara struktural. Berbagai organisasi masyarakat sipil, tak terkecuali ICW dan KontraS pun melakukan monitoring dan pendokumentasian terhadap berbagai bentuk kecurangan dalam Pemilu. Secara umum, kami menemukan sebanyak 310 peristiwa dugaan kecurangan meliputi pelanggaran netralitas, manipulasi suara, penggunaan fasilitas negara oleh kandidat, politik uang hingga bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
"Kami pun mencatat beberapa kecurangan yang sifatnya struktural, sebab pelanggaran yang dilakukan melibatkan aparat struktural. Seperti penyelenggara pemilu, struktur pemerintahan, atau struktur aparatur sipil negara (ASN). Salah satunya yaitu pengerahan pejabat desa untuk mendukung pasangan calon 02, Prabowo-Gibran lewat Deklarasi Desa Bersatu, yang diselenggarakan pada tanggal 17 Desember 2023," paparnya.
"Selain itu, pengerahan sejumlah Kepala Desa untuk memilih 02 dengan berbagai ancaman oleh petinggi asosiasi desa juga terjadi seperti halnya yang dialami oleh Kepala Desa di Ngawi," lanjutnya.
"Bahkan, dalam beberapa kasus, hingga ke level teknis yakni sejumlah petugas KPPS tak luput melakukan kecurangan," sambungnya.(*/bh/amp) |