JAKARTA, Berita HUKUM - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Said Iqbal mengatakan, yang mengatur detail sistem pengupahan termasuk struktur dan skala upah serta tunjangan dan Tunjangn Hari Raya (THR) belum ada dasar hukum, kecuali SK Menteri. Untuk itu perlu ada Peraturan Pemerintah tentang upah.
Memang pada akhir bulan April yang lalu sebelum perayaan May Day 2015, tepatnya pada, Selasa (27/4) lalu beberapa pimpinan Serikat Buruh diundang dan bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara.
Said Iqbal menyampaikan ada beberapa hal yang membuat KSPI tetap berkeinginan untuk menyampaikan mengenai kenaikan Upah buruh. Karena kita telah masuk dalam Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Pemerintah tidak hanya concern dalam persaingan harga dan persaingan SDM (tenaga kerja), namun juga bersaing dalam upah. Upah berpengaruh dengan daya beli. Upah di negara kita lebih rendah dari Thailand yang sudah 3,2 juta, Philipina 3,6 juta, dan Malaysia sudah di atas 3 juta (jika di nilai dengan kurs dalam rupiah). Sedangkan di Jakarta masih 2,7 juta Rupiah.
"Bila upah rendah, tentunya menjadi dasar penentuan jaminan kesehatan dan pensiun. Implikasinya juga berdampak dalam menghitung pesangon, jam lembur, dan sebagainya," jelas Said Iqbal, saat diwawancarai beberapa awak media di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada acara Seminar Nasional Jaminan Kesehatan tentang "Koordinasi Manfaat" dalam rangka memperingati May Day 2015, yang dihadiri beberapa perwakilan BPJS Kesehatan, KSPI, dan JamkeWacth pada, Rabu (6/5).
Said Iqbal pun menyampaikan, Kenaikan upah 5 tahun sekali, namun pertahun akan naik tergantung Inflasi. Akan ada penyesuaian (adjustment) sebesar nilai inflasi. Tuntutan buruh terkait implementasi jaminan pensiun per 1 Juli 2015 dengan manfaat bulanan sebesar 75% dari gaji, serta menuntut kenaikan upah sebesar 32%, dimana 60 item KHL tidak diterima oleh Serikat buruh (terutama oleh KSPI). 60 KHL tidak mencerminkan kebutuhan sebenarnya dari buruh, maka kami ingin merubah jadi 84 item KHL.(bh/mnd) |