JAKARTA, Berita HUKUM – Bertempat di ruang pertemuan Dewan Pers, Jumat (23/11) diadakan diskusi dengan tema RUU Kamnas dan Ancaman Terhadap Kemerdekaan Pers. Sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Anggota DPR dari Fraksi PB, Effendi Choiri (Gus Choy), Wina Armanda Sukardi (Dewan Pers), Al Ar’raf (Imprasial/Koalisi Masyarakat Sipil) dan sUlaeman Sakib (Wakil Pemimpin Redaksi TV One).
Selain itu hadir dari kalangan tokoh dan praktisi pers, acara yang dipandu oleh Agus Sudibyo (Dewan Pers) berjalan lancar. Secara gambling Gus Choy memaparkan ikhwal munculnya rancangan undang-undang Kamnas dan pandangannya terhadap RUU Kamnas tersebut. Anggota DPR dari F-PKB ini secara gamblang kurang setuju dengan RUU Kamnas ini.
Sementara itu Al A’raf, sangat menyayangkan adanya RUU Kamnas ini, lebih lanjut menurut aktivis dari Imprasial ini, seiring perjalanan waktu, sebelum adanya RUU Kamnas ini sebenarnya sudah ada UU Intejen, dan lain – lain, lantas RUU Kamnas ini untuk apa, tegas Al Ar’af.
Pemerintah telah menyerahkan draftterbaru RUU Keamanan Nasional (Kamnas) ke parlemen pada tanggal 23 Oktober 2012. Namun draft tersebut tidak mengalami perubahan berarti dan masih mengandung pasal-pasal yang secara umum mengancam fondasi demokrasi dan secara khusus mengancam iklim kebebasan pers di Indonesia.
Potensi ancaman terhadap kebebasan pers tersebut muncul karena definisi ancaman keamanan nasional di dalam RUU ini sangat luas dan elastis, antara lain keamanan nasional di bidang ideology, ekonomi, budaya dan lainnya. Dengan definisi ancaman keamanannasional yang demikianluas, pers yang sedang giat memberitakan masalah korupsi, HAM, kerusakan lingungan dan lain-lain dapat dengan mudah dianggap mengancam keamanan nasional.
Dalam penjelasan pasal 17 RUU Keamanan Nasional disebutkan, salah satu ancaman tidak bersenjata adalah penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa. Dengan definisi demikian RUU Kamnas dapat disalahgunakan oleh penguasa (abuse of power) untuk menghadapi kelompok-kelompok yang kritis terhadap kebebasan. Dengan dalih ancaman keamanan nasional, Negara bisa membungkam media yang kritis terhadap kekuasaan. Pemberitaan media yang menimbulkan kontroversi dapat dianggap sebagai bentuk gangguan keamanan nasional. Bahkan pemberitaan pers yang mengganggu citra pemerintah yangberpotensi dinilai sebagai gangguan terhadap stabilitas nasional.
Pasal-pasal yang mengatur tentang otoritas TNI untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan dan pengungkapan kepada pihak-pihak yang dicurigai mengancam keamanan nasional juga sangat riskan bagi para wartawan. Wartawan sangat beresiko menjadi sasaran penyadapan dan penangkapan atas nama keamanan nasional. Wartawan yang sedang melakukan liputan tentang terorisme dan hasru menembus sumber-sumber dari kelompok radikal sangatn beresiko untuk disadap, bahkan ditangkap. Karena mempunyai kontak dengan kelompok radikal dalam konteks investigasi, wartawan tersebut bisa saja dipetaan sebagai bagian dari jaringan terorisme dan dianggap sah untuk disadap atau pun ditangkap.
RUU Keamanan Nasional berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Pers, antara lain pasal 4 ayat 4 mengenai hak tolak. Wartawan berhak menolak menyebutkan identitas narasumber bisa diniai bertentangan dengan UU Keamanan Nasional, jika tidak mau mengungkapkan identitas narasumber yang dianggap mengancam keamanan nasional. (bhc/rat)
|