JAKARTA, Berita HUKUM - Pemerintah harus mulai memikirikan cara baru untuk menangani pasien kanker di Indonesia. Pasalnya, jumlah pasien kanker yang semakin banyak tidak semua pengobatannya terjamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). Karena itu, pasien kanker masih harus mengeluarkan biaya lebih untuk pengobatan yang tidak tersedia tersebut.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukan prevalansi kanker di Indonesia 1,4% dengan jumlah 347.792 kasus kanker. Sedangkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan pada tahun 2014 telah mengeluarkan Rp 2,05 Trilyun untuk pembiayaan kanker dengan lebih dari 894.000 kasus.
"Pemerintah harus cari solusi baru untuk menangani pasien kanker. Kenyataannya lebih dari 20% pengeluaran BPJS untuk pasien kanker, tetapi beban ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat masih sangat besar," Kata Anggota Komisi IX DPR RI dari Partai Gerindra Roberth Rouw di Jakarta, Minggu (17/4).
Data ACTIOn (ASEAN Cost In Oncology) yang didapat dari penelitian terhadap 2.355 pasien kanker baru yang dilakukan selama setahun setelah pasien terdiagnosis, menunjukan hasil yang menyedihkan. Hanya 29% pasien yang masih bisa diobservasi, dan 71% meninggal setelah satu tahun pengamatan. Survei tersebut dilakukan di 10 rumah sakit umum di delapan kota besar.
Hasil studi ACTION juga menunjukan, 46 persen pasien kesulitan keuangan setahun pertama setelah terdiagnosis kanker. Sebanyak 58% pasien meminjam uang dari keluarga, 25,2% memakai tabungan, 12,3% meminjam uang secara pribadi dan 14,4% menjual harta pribadi. Kanker adalah penyakit dengan beban ekonomi ketiga setelah sakit jantung dan gagal ginjal.
Besarnya biaya yang dikeluarkan baik lewat Jaminan Kesehatan Nasional ataupun oleh masyarakat ternyata hanya menguntungkan produsen asing. Data Kemenkes menunjukan hanya 94% alat kesehatan dan 95% obat masih bergantung dari impor.
"Partai Gerindra meminta pemerintah untuk menjadikan penelitian di bidang kesehatan khususnya kanker sebagai prioritas. Penelitian obat baru hingga alat diagnostik kanker harus lebih didorong agar kemandirian bangsa bisa tercapai dan menjadi solusi baru bagi pasien kanker," ujar politisi yang berasal dari daerah pemilihan Papua ini.
Penelitian mengenai kanker sejauh ini merupakan barang mewah di Indonesia. Tidak banyak institusi yang melakukan penelitian dikarenakan masih carut marutnya kondisi riset kesehatan, hal tersebut diakibatkan belum adanya aturan yang jelas dan tidak adanya koordinasi antara Kemenkes dan para pemangku kepentingan.
Belum lama ini, konflik antara Kemenkes, praktisi klinisi dan Warsito sebagai peneliti teknologi kanker sempat menjadi isu yang hangat dibicarakan. Warsito dianggap mengembangkan teknologi ECCT sebagai alat terapi dan ECVT sebagai alat diagnosis kanker tidak sesuai dengan kaidah ilmiah dan menurut hasil review Kemenkes tidak terbukti manfaatnya. Padahal penelitian untuk mencari cara baru menangani dan diagnosis kanker hampir tidak pernah dilakukan oleh lembaga riset lain di Indonesia.
"Saya melihat konflik ini sesuatu yang tidak perlu. Pemerintah harus bisa menjebatani apabila ada anak bangsa dengan reputasi akademik yang sangat baik punya perhatian terhadap masalah besar seperti kanker," tutur Roberth.
Roberth juga menyayangkan kalau aset peneliti yang sudah langka akhirnya harus pergi ke luar negeri karena tidak adanya dukungan dari pemerintah. "Dukungan itu bukan hanya berupa lisan, tetapi juga berupa adanya regulasi dan keberpihakan terhadap penelitian yang dilakukan sesuai dengan kaidah ilmiah yang ada," tukas Roberth.(gmc/ari/bh/sya) |