JAKARTA, Berita HUKUM - Media massa merupakan cakrawala jendela informasi dunia yang tentunya menyuarakan kebenaran, fakta dan realitas peristiwa dan kejadian yang terjadi. Namun, kini pers setelah reformasi menuai kontroversi dikalangan insan pers Indonesia yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Pers Indonesia.
Ruang lingkup insan pers di daerah-daerah dituding mengalami tindakan kesewenang-wenangan akhir-akhir ini, bahkan hingga di 'kriminalisasi', situasinya ditambah lagi saat ini adanya proses penjaringan calon anggota Dewan Pers yang tidak jelas dan dituding cacat hukum.
Advokat Dolfie Rompas, SH, MH sebagai kuasa Hukum Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) dan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), yang eksis membela wartawan dalam melakukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada Dewan Pers di PN Jakarta Pusat menjelaskan bahwa, UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers, tak ada satupun pasal mengatur Dewan Pers (DP) memiliki kewenangan melakukan penjaringan dan pemilihan calon anggota Dewan Pers pada UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers tersebut.
"Tak ada satupun pasal mengatur Dewan Pers (DP) memiliki kewenangan melakukan penjaringan dan pemilihan calon anggota Dewan Pers," ungkap Dolfie, saat jumpa pers 'Menyikapi Kontroversi Dewan Pers' dihadapan para awak media cetak, elektronik, online dan televisi dibilangan Cikini Jakarta Pusat pada, Rabu (14/11).
"Keabsahan legalitas Dewan Pers mulai dari tahap penjaringan, pemilihan anggota, pengajuan ke Presiden sampai penetapan anggota Dewan Pers melalui Surat Keputusan Presiden RI ternyata dinilai cacat hukum," jelas Dolfie, yang sekaligus juga pemerhati pers.
Menurut penilaian Dolfie, berdasarkan pasal 15 bahwa Dewan Pers tidak diberikan kewenangan mengatur kerja pers ataupun wartawan. Pasal 1 menyebutkan, pers itu merdeka, dimana tidak ada lembaga manapun yang memisah eksistensi kinerja wartawan.
"Wartawan bukan dibawah Dewan Pers, namun dibawah organisasi wartawan," ucapnya.
Bahkan Dolfie, sambungnya menyatakan berdasarkan pasal 15 UU pers tersebut hanya mengatur tentang susunan dari anggota Dewan Pers dan anggota dewan pers ditetapkan dengan keputusan Presiden. "Pertanyaannya pada waktu Presiden menentapkan, siapa yang mengusulkan?. Sangat tidak jelas pihak-pihak yang diberikan kewenangan dalam melakukan tugas mengatur, menjaring dan memilih anggota Dewan Pers.
"Bisa saja tiap orang melakukan klaim pihak melakukan penjaringan dan pemilihan anggota DP dan mengajukan ke Presiden RI untuk ditetapkan sebagai anggota Dewan Pers (ayat 5). Atas dasar pertimbangan itu legitimasi hukum anggota Dewan Pers patut dipertanyakan," tukasnya.
"Ada gak di UU Pers No 40 Tahun 1999 yang menjadi pijakan tatacara melakukan pemilihan dewan pers. ada gak yang mengatur tentang musyawarah untuk memelilih dewan pers, apalagi yang saya dengar kemarin melaksanakan musyawarah tersebut," cetusnya.
Dolfie mengusulkan, Inilah yang harus menjadi perhatian bagi kita semua, para angggota legislatif untuk merevisi UU Pers ini.
"Konsekuensi logisnya, kebijakan dan pelaksanaan tugas Dewan Pers serta penggunaan dana APBN oleh dewan pers melalui pos Kemenkominfo selama ini dapat diindikasikan suatu tindakan penyelewengan anggaran negara, yang wajib diminta pertanggungjawaban dari pihak-pihak menggunakan anggaran tersebut," tandasnya.
Pantauan pewarta BeritaHUKUM.com di lokasi tampak hadir Hentje Mandagie Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI), Wilson Lalengke Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Kasihhati Ketua Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII), Moh. Helmy Romdhoni salah satu Dewan Pendiri Sekber Pers Indonesia, serta Marlon Brando Pimpinan organisasi Media Online Indonesia (MOI) yang juga salah satu dewan pendiri Sekber Pers.(bh/mnd)
|