JAKARTA-Tim Khusus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) DPR RI menilai, kebijakan amnesti 6P untuk para Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI) oleh pemerintah Malaysia bernuansa politis dan merupakan siklus reguler menjelang diadakannya Pemilu. Disamping ada aspek politis dan ekonomi, hal itu merupakan cerminan problem struktural.
"Timsus menghendaki penyelesaian fundamental dan komprehensif agar kejadian serupa tak terulang kembali. Karenanya, timsus mengusulkan pemutihan dilaksanakan terlembaga sepanjang tahun, " ujar Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Irgan Chairil Mahfidz, saat temu pers di gedung DPR, Jakarta, Kamis (4/8).
Didampingi Eva Kusuma Sundari, Chusnuniyah (FPKB) dan Rizki Sidik (FPAN), Irgan Timsus menilai mendukung pemerintah untuk meminta prinsip "equal treatment" dalam pelaksanaan kebijakan pemutihan dimana kedua pihak yakni majikan dan pekerja diperlakukan sama. Sebab, ada kecenderungan majikan melapas tangan TKI demi pertimbangan pengamanan diri.
"Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab TKI menjadi illegal. Sepatutnya majikan juga mendapat pengampunan agar menjadi pendorong pemutihan status yang meringankan TKI, " ujar Irgan.
Eva berpendapat Timsus menyayangkan ketidakjelasan prosedur pemutihan dan pembiayaannya yang menyebabkan TKI pada posisi rentan sebagai obyek pemerasan banyak pihak. "Salah satunya praktek outsourcing yang dilakukan oleh 348 agen pendaftaran resmi, " katanya.
Berbagai kondisi itu, kata Eva, menyebabkan praktek sewa bendera yang memberatkan TKI yang ingin pemutihan, sementara majikannya enggan mengurus. Para TKI yang sewa bendera itu, diminta membayar levi dan ongkos untuk pemutihan sebesar RM 3600-4000 (tarif resmi RM 335). "Nasb lebih mengenaskan adalah TKI yang tidak punya majikan, dikenakan beaya Rp8-10 juta untuk sewa bendera, " katanya.
Lebih lanjut Eva mengatakan, keberadaan TKI yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian Malaysia terutama di sektor perkebunan/peladangan dan konstruksi sepatutnya dijadikan pertimbangan mengingat saling ketergantungan diantara dua perekonomiannya. "Perlu ada kerjasama antara parlemen maupun pemerintah dua negara demi terciptanya hubungan ekonomi yang adil dan berdampak pada hubungan politik yang stabil dan kuat, " katanya.(bie)
|