JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua DPP Partai Nasional Aceh (PNA), Munawar Liza Zainal, mengatakan kehadiran partai lokal di Aceh merupakan representasi damai atas konflik bersenjata, mengembalikan kedaulatan kepada rakyat untuk membangun pemerintahan Aceh yang bersifat self-government.
Munawar yang juga mantan Walikota Sabang, Aceh menegaskan bahwa parpol lokal di Aceh diharapkan dapat meningkatkan karakter daerah dan menggali potensi daerah, mengajak masyarakat aktif dan terbuka dalam pemilihan tanpa campur tangan pemerintah pusat. Juga partai lokal akan menambah pilihan politik bagi masyarakat.
Hal tersebut disampaikan saat menerima undangan Gubernur Lemhannas RI hari ini, Selasa (18/6) untuk memberikan ceramahnya tentang partai politik lokal di Aceh di hadapan 80 orang peserta pendidikan reguler Lemhannas 2013, yang digelar di Gedung Lemhannas, Jakarta.
Menurutnya, ide partai lokal di Aceh sudah sempat dimunculkan oleh aktifis masyarakat sipil sejak tahun 2000-an. Namun tidak terealisasi karena perubahan situasi politik di Aceh dan gagalnya perjanjian COHA dan pemberlakuan darurat militer di Aceh. Partai-partai politik lokal kemudian terealisasi berkat perjanjian Helsinki yang kemudian dituangkan ke dalam UU PA pasal 77-95 tentang partai lokal.
Meskipun dengan adanya partai lokal di Aceh, tambahnya, juga menimbulkan beberapa masalah. Antara lain tidak samanya persepsi tentang butir-butir kesepakatan Helsinki antara parpol lokal dengan pemerintah, rendahnya kualitas SDM sehingga produk qanun (peraturan daerah) yang dihasilkan tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, belum berpolitik secara sehat sehingga masih ada kekerasan dan pembunuhan, juga terlalu banyak intervensi partai lokal terhadap birokrasi di Aceh terutama dalam penempatan pejabat.
"Ada beberapa kepala daerah dari partai lokal membuat peraturan tidak rasional dengan mengatasnamakan perjuangan atau adat istiadat," tegas Munawar lagi.
Untuk beberapa permasalahan itu, Munawar yang juga mantan anggota support group Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di perundingan Helsinki menyarankan agar ada partai penyeimbang yang kuat sebagai oposisi. Dalam hal ini pemerintah pusat juga harus tegas dan fair kepada semua partai di Aceh. "Bukannya malah membantu terhadap terjadinya kecurangan-kecurangan baik dalam proses demokrasi maupun pembuatan produk hukum daerah," tandasnya.
Adapun 80 peserta yang terdiri dari 30 orang perwira TNI, 17 perwira Polri, dari Kementrian dan Lembaga, Mahkamah Agung, Media, Aktifis LSM dan organisasi masyarakat, juga 7 orang dari negara sahabat termasuk seorang Brigjen dari Pakistan, sangat antusias mengikuti ceramah yang kemudian diikuti dengan diskusi berbagai masalah Aceh selama satu jam setengah.
Acara berakhir saat zuhur dan materi selanjutnya tentang kualitas demokrasi yang dipaparkan oleh mantan Presiden Jusuf Kalla.(rls/bhc/sul)
|