JAKARTA, Berita HUKUM - Pemerintah menyatakan penerapan surat peringatan melalui surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri) sebagai syarat penggunaan Pasal 156 a Undang-Undang (UU) KUHP sepenuhnya kewenangan Hakim, Selasa (18/12).
Keharusan menggunakan SKB 3 Menteri merupakan ranah penerapan norma hukum yang sepenuhnya menjadi kewenangan hakim. Sehingga, dalam putusan Pengadilan bisa saja terdapat perbedaan dalam pertimbangan hukumnya.
Dengan demikian, pemerintah menganggap tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap penyelesaian perkara, yang dalam hal ini kasus penodaan agama. Bagi pemerintah, penggunaan SKB 3 Menteri merupakan wujud dari pertimbangan hakim dalam memberikan keadilan sessuai dengan karakteristik masing-masing kasus.
“Oleh karena itu, pemerintah melihat ini bukan permasalahan konstitusional, melainkan masalah penerapan norma dari UU,” kata Dirjen Bimas Kamentrian Agama Abdul Djamil ketika memberikan opening statement terkait pengujian Pasal 156a KUHP jo Pasal 4 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan oleh terpidana Tajul Muluk di Mahkamah Kosntitusi (MK) kemarin.
Pemerintah justru menegaskan kalau ketentuan dalam Pasal 156 a UU KUHP dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi ketentraman umat beragama. Sehingga, jika ini dikabulkan Mahkamah seperti yang diminta oleh pihak Tajul Muluk, Abdul menilai akan menimbulkan kekacauan hukum yang mengarah pada konflik horizontal.
“UU pencegahan Agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan agama, justru ini rambu-rambu pencegahan penodaan agama,” lanjut Abdul dalam ruang persidangan.
Menurutnya, lagipula Pengujian Pasal 156 a UU KUHP sudah pernah dilakukan pengujiannya oleh MK di tahun 2009, yang putusannya menolak pengujian UU ini. “Sehingga, pemerintah berpendapat ini adalah nebis in idem, karena alasan yang digunakan pemohon sama dengan perkara yang diputus MK,” tegasnya.
Terkait dengan keterangan pemerintah, pemohon melalui kuasa hukumnya Hertasning Ichlas, menyatakan sepakat dengan pemerintah yang menyatkan UU ini digunakan sebagai rambu-rambu untuk menjaga keharmonisan antar agama.
Akan tetapi, dirinya melihat fakta di lapangan justru bertolak belakang dengan apa yang disampaikan pemerintah dalam ruang persidangan. Baginya putusan yang digunakan oleh Pengadilan terkait dengan kasus penodaan agama itu hanya berdasarkan pada selera individu atau kelompok.
“Kami hanya ingin meneguhkan bahwa untuk menerapkan Pasal 156 a UU KUHP perlu ada teguran SKB 3 Menteri dulu, tidak boleh asal tarik sembarangan,” ucap Hertasning Ichlas seusai persidangan di MK.(bhc/mdb) |