JAKARTA, Berita HUKUM - Seorang Pedagang Emas di Pasar Mayestik Jakarta Selatan, Suhaemi Zakir mengajukan pengujian Undang-Undang Perbankan. Rinaldi selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan perkara No. 109/PUU-XII/2014 pada sidang pendahuluan, Rabu (5/11) di Ruang Sidang Pleno, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Pada pokoknya, Pemohon yang kehilangan emas sebanyak sepuluh kilogram merasa dirugikan dengan berlakunya Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan.
Di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto, Rinaldi selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan bahwa Pemohon merasa dirugikan dengan Penjelasan pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan. Penjelasan pasal tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.”
Penjelasan pasal tersebut telah menjegal upaya Pemohon untuk mengadukan Bank DKI ke kepolisian dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Baik pihak kepolisian maupun OJK menganggap penjelasan pasal tersebut tidak jelas atau multitafsir. Sehingga, pihak kepolisian maupun OJK tidak bisa memproses laporan Pemohon.
Sebelumnya, Pemohon menggugat Pasar Mayestik yang telah membongkar tokonya pada malam hari. Pembongkaran tersebut menyebabkan emas sebanyak sepuluh kilogram yang berada di toko milik Pemohon hilang. Pada akhirnya, Pemohon memenangkan gugatan tersebut. Pasar Mayestik pun diperintahkan membayar ganti rugi atas hilangnya emas tersebut. Proses pembayaran tersebut diperintahkan melaui rekening milik Pasar Jaya yang ada di Bank DKI.
Pada 7 Maret 2014 lalu, PN Jakarta Pusat akhirnya melaksanakan eksekusi pencairan sesuai dengan penetapan pengadilan tertanggal 3 Maret 2014. Namun eksekusi pencairan pembayara sepuluh kilogram emas tersebut tidak berhasil dilakukan. Sebab, Bank DKI beralasan pihaknya dapat mencairkan dana tersebut sepanjang pihak juru sita pengadilan membawa surat perintah pemindahbukuan atau cek/bilyet giro dari PD Pasar Jaya selaku pemilik rekening. Bank DKI memastikan pencairan dana tersebut belum sesuai ketentuan hukum perbankan.
“Atas kejadian tersebut Pemohon melaporkan Bank DKI kepada Kepolisian dengan tuduhan pasal 216 KUHP, 231 KUHP dan Pasal 49 UU Perbankan. Namun, laporan Pemohon tidak dapat diterima oleh Kepolisian akibat Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan dianggap tidak jelas maknanya sehingga tidak memberikan kepastian hukum,” ujar Rinaldi.
Alasan yang sama juga dipakai OJK untuk tidak menindaklanjuti laporan Pemohon. Padahal, Pemohon yakin hal ini bagian dari tugas dan fungsi OJK sebagai pengawas perbankan untuk menilai Bank DKI apakah patuh dan taat pada peraturan yang ada.
Oleh karena itulah Pemohon menganggap Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan mengakibatkan hilangnya hak konstitusional Pemohon sebagai Pemohon Eksekusi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan kata lain, Pemohon menganggap seharusnya pegawai bank yang tidak melaksanakan perintah pengadilan harus dikenai sanksi pidana karena tidak menjalankan wewenang dan tanggung jawabnya.
“Menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai menjadi Yang dimaksud dengan pegawai Bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha Bank yang besangkutan dan yang dimaksud ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank adalah semua peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” tandas Rinaldi membacakan salah satu petitum permohonan Pemohon.(Yusti Nurul Agustin/mh/mk/bhc/sya) |