JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Doq1sen (UU Guru dan Dosen), dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Senin (3/2) siang lalu, di Ruang Sidang Pleno MK.
Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-XIII/2015 dan 11/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh guru Non PNS dan guru kontrak yang kemudian diwakili oleh kuasa hukumnya, Fathul Hadie Utsman. Pada sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut, Presiden diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ainun Na’im, berpandangan bahwa kualitas manusia yang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Untuk itu, diperlukan adanya penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, sehingga guru dan dosen mempunyai peran yang sangat strategis.
Lebih lanjut, Ainun menyatakan bahwa dalam rangka memberikan penghargaan terhadap guru dan dosen, maka diperlukan adanya pengukuhan dengan pemberian sertifikat pendidik. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional dan sebagai upaya agar guru dan dosen dapat meningkatkan profesionalitas.
“Dalam melaksanakan tugasnya, guru dan dosen harus memperoleh pengahasilan di atas kebutuhan minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya,” kata Ainun.
Terhadap materi permohonan Perkara Nomor 10/PUU-XIII/2015, di mana Pemohon menganggap adanya diskriminasi terhadap guru tidak tetap dalam mengikuti program sertifkasi, Ainun menyatakan bahwa proses sertifikasi merupakan hal yang esensial dalam memperoleh sertifikat kompetensi sesuai standar yang berlaku. Menurutnya, sertifikat ini merupakan bukti pengakuan atas kompetensi guru yang memenuhi standar untuk melakukan pekerjaan profesi guru. Sedangkan terkait dengan istilah yang digunakan Pemohon, yakni “guru tidak tetap”, menurut Ainun istilah tersebut tidak terdapat dalam UU Guru dan Dosen, baik secara definisi maupun substansi.
Sementara terkait anggapan para Pemohon mengenai adanya diskriminasi dalam keikutsertaan program sertifikasi antara guru tetap dengan guru tidak tetap, Pemerinta menilai dalil tersebut adalah tidak beralasan. Menurutnya, kondisi dan keadaan guru tetap dan guru tidak tetap jelaslah berbeda, sehingga perlakuan yang berbeda terhadap keadaan yang berbeda bukanlah diskriminasi. Hal ini didasarkan pada suatu teori yang menyatakan bahwa perlakukan yang berbeda dapat dilakukan pada suatu keadaan yang berbeda.
“Dalam teori keadilan hukum, terdapat prinsip yang menyatakan bahwa perlakuan yang sama adalah terhadap suatu keadaan yang sama, yang berarti secara a contrario bahwa perlakuan yang berbeda dapat ditujukan kepada keadaan yang berbeda” ujar Ainun, dihadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, Ainun juga memberikan keterangannya terhadap Perkara Nomor 11/PUU-XIII/2015, dimana Pemohon meminta pemaknaan konstitusional bersyarat terhadap Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas, yang menyatakan “Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”.
Menurut Ainun, pemaknaan konstitusional bersyarat yang diminta oleh Pemohon terhadap Pasal a quo , yakni berlaku konstitusional sepanjang dimaknai bahwa gaji guru kontrak/guru bantu, tetap dialokasikan dalam APBN selama guru kontrak/guru bantu tersebut belum ditetapkan sebagai CPNS dan guru kontrak/ guru bantu segera ditetapkan sebagai CPNS, adalah tidak beralasan hukum.
Lebih lanjut, Ainun menyatakan bahwa pengaturan gaji PNS dalam Undang-Undang APBN bukan sebagai bentuk diskriminasi hukum, tetapi sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan pelayanan publik. Sehingga menurutnya, permohonan Pemohon tidak terkait dengan norma, namun lebih berkaitan dengan tuntutan. “Permohonan Pemohon tidak berkaitan dengan norma dalam Pasal 49 ayat (2), tetapi lebih berkaitan dengan tuntutan agar guru kontrak/ guru bantu dijadikan CPNS,” papar Ainun.
Terkait adanya status guru tetap dan tidak tetap, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mempertanyakan tentang pengaturan pemerintah yang pada satu sisi mengaku tidak mengenal konsep tersebut, namun di sisi lain pemerintah masih menggunakan tenaga guru tidak tetap di sekolah-sekolah pemerintah, di mana mereka bukan PNS tetapi sudah memiliki sertifikasi. Menjawab pertanyaan itu, Ainun menyatakan bahwa klasifikasi guru adalah guru tetap dan guru tidak tetap. Guru tetap ini kemudian bisa diklasifikasikan lagi, yakni PNS dan Non PNS. Guru yang Non PNS adalah guru tetap yang diangkat oleh yayasan, yang dapat memperoleh pensiun (melalui BPJS), sertifikasi, dan tunjangan profesi.
Sedangkan terkait pertanyaan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengenai gaji dan dana pensiun yang diberikan kepada guru Non PNS yang tidak dialokasikan dalam APBN, Ainun menjelaskan bahwa gaji PNS memang dialokasikan dalam APBN, dikelola oleh pemerintah lalu dibayarkan kepada PNS. “Semenrara untuk yang Non PNS, sekolah dapat membayar melalui dana yang dialokasikan oleh pemerintah dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS). Yang satu tadi sifatnya langsung dikelola oleh pemerintah, yang kedua dikelola oleh sekolah,” papar Ainun.(TriyaIR/mk/bhc/sya) |