JAKARTA, BeritaHUKUM – Di tengah derasnya protes masyarakat atas keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengalihan Tugas Badan Pelaksana (BP) Migas kepada Satuan Kerja Sementara Pelaksana (SKSP) di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), justru SKSP menyepakati kontrak US$ 24 miliar (Rp 230 triliun) dengan kontraktor swasta hulu migas hingga akhir 2013.
“Kontrak tersebut tidak sah alias ilegal karena SKSP adalah bagian dari Kementerian ESDM,” kata ahli hukum tata negara, Margarito Kamis sebagimana dilansir Sinar Harapan, di Jakarta, Jumat (4/1).
Menurutnya, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan UUD’45 adalah memisahkan antara regulator yaitu pemerintah dengan operator yaitu badan hukum yang dibentuk atau ditunjuk pemerintah.
“Kontrak yang dipaksakan tersebut menyebabkan perusahaan swasta yang melakukan kontrak tidak bisa beroperasi. Kalau mereka nekat melakukan eksplorasi maka perusahaan itu melakukan kegiatan operasiona ilegal atas nama hukum dan bisa dituntut,” kata Margarito.
Ia menegaskan seharusnya pemerintah segera membentuk badan hukum baru atau menunjuk langsung perusahaan negara Pertamina sebagai operator.
“Yang mengherankan mengapa pemerintah tidak melakukan hal tersebut. Ini menjadi tanda tanya baru. Ada apa kok pemerintah kembali menyatukan tugas regulator dan operator,” ujarnya.
Peneliti Indonesia For Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng menegaskan, keputusan presiden, Menteri ESDM dan SKSP jelas merupakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang melanggar UUD’45 dan putusan MK.
“Putusan MK sesuai UUD’45 menghendaki kontrak migas harus merupakan kontrak publik, mengingat migas menyangkut hajat hidup orang banyak. Penyerahan kontrak bernilai ratusan triliun akan menjadi sumber korupsi baru,” tuturnya di Jakarta.
Langgar Putusan MK
Ia menjelaskan bahwa setelah Putusan MK tentang Pembubaran BP Migas, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Perpres tersebut berisikan tiga pasal yang intinya mengalihkan tugas BP Migas ke Kementerian ESDM.
Selanjutnya ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No 3135 K/08/Mem/2012 tentang pegalihan tugas, fungsi dan organisasi dalam pelaksanaan kegiatan hulu migas yang berisi enam pasal yang intinya mengalihkan tugas BP Migas kepada SKSP Kegiatan Usaha Hulu Migas.
“Padahal, putusan MK yang membubarkan BP Migas tersebut adalah putusan bersifat final dan mengikat. Putusan tersebut tidak dapat diakali dengan perpres apalagi kepmen,” ujarnya.
Pemerintah, menurutnya, seharusnya kembali kepada UU No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang menugaskan Pertamina sebagai pengelola sumber daya migas dan sebagai perangkat negara yang berkewajiban memberikan pelayanan dan penyediaan BBM bagi publik.
“Kebijakan Presiden SBY dan Menteri ESDM yang membentuk lembaga abal-abal tidak memiliki legitimasi. Kebijakan ini akan menjadi sumber korupsi yang akan semakin menenggelamkan usaha migas dalam dominasi kepentingan bisnis asing,” tuturnya.(bhc/sh/rat)
|