JAKARTA, Berita HUKUM - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) membantah tuduhan advokasi sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LSM yang mengatakan bahwa hutan Aceh akan berkurang 1,2 juta Ha apabila revisi Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRWP) Aceh diberlakukan, sebagaimana mereka sampaikan melalui petisi di dalam dan luar negeri untuk menyelamatkan orang utan dan hutan Aceh.
Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto mengatakan bahwa RTWRP yang diusulkan oleh Gubernur Aceh Zaini adalah perubahan peruntukan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 119 ribu Ha dan pengusulan penunjukan APL menjadi kawasan hutan seluas 31 ribu Ha. Sementara hasil tim terpadu dari 119 ribu Ha yang direkomendasikan, hanya 79 ribu yang dapat dijadikan APL dan seluas 26 ribu Ha APL akan dijadikan kawasan hutan.
“Jadi, tuduhan LSM atas hilangnya hutan Aceh sejumlah 1,2 juta Ha apabila RTRWP diberlakukan adalah tidak benar dan angka tersebut harus diverifikasi,” kata Hadi di Jakarta, Kamis (16/5) pagi.
Sebelumnya dalam petisi yang ditandatangani sejumlah aktivis itu disebutkan, bahwa Pemerintah Provinsi Aceh berencana mengurangi luasan kawasan hutan menjadi 46 persen dari luas wilayah provinsi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh yang baru. Sebelumnya, luas kawasan hutan Aceh masih 68 persen dari luas wilayah 5,73 juta hektar.
Para penandatangan Petisi meminta Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf untuk menghentikan potensi kehancuran hutan terbesar di Aceh dan salah satu yang terbesar di Indonesia.
“Kami juga meminta dunia internasional, yang selama ini telah mendukung konservasi dan perlindungan hutan Aceh untuk membantu dengan dukungan teknis dan finansial untuk mengubah peraturan yang sangat merugikan ini,” bunyi salah satu kaliman dalam petisi itu.
Petisi itu selain ditujukan kepada Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wakilnya Muzakir Manaf, juga ditujukan kepada Menteri PU Djoko Kirmanto, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Mendagri Gamawan Fauzi, dan Duta Besar sejumlah negara sahabat.
Sebagaimana diketahui, Aceh sebagai daerah istimewa memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat, termasuk untuk mengatur seluruh hutan yang ada di wilayahnya. Hal ini dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 dan peraturan Gubernur Aceh No. 52 tahun 2006, sehingga Aceh dapat melakukan pengaturan terhadap wilayah hutannya dan merupakan tangung jawab penuh pemerintah provinsinya.
Kronologis penyusunan RTRW Aceh
Pada 20 Oktober 2010, Gubernur Aceh Zaini mengusulkan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Aceh melalui surat No. 552/64030. Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007, penyusunan dan penetapan RTRWP merupakan kewenangan pemerintah provinsi, yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah yang kemudian disahkan secara bersama oleh Gubernur dengan DPRD. Apabila didalam penyusunan RTRWP ini menyangkut kawasan hutan, maka Kemenhut akan memberikan persetujuan setelah menerima laporan dari tim terpadu.
Terkait revisi RTRWP Aceh, Tim Terpadu yang terdiri dari para pakar dan LSM, telah dibentuk berdasarkan SK 602/Menhut-vii/2010 28 oktober 2010 junto SK 636 Menhut vii/2010 16 Nov 2010 junto No. SK. 125/Menhut-vii/2012 2 maret 2012 junto no. SK 1/VII-ren/2013 15 februari 2013).
Tim ini telah memberikan laporan dan rekomendasi kepada Menteri Kehutanan pada tanggal 11 Maret 2013, sebagai dasar keputusan untuk melepaskan atau mempertahankan kawasan hutan.
“Berdasarkan Undang-undang, Presiden tidak terlibat didalam revisi tata ruang daerah, namun pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” jelas Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim ketika dimintakan pendapatnya mengenai petisi yang ditujukan kepada Presiden SBY untuk menghentikan rencana pembunuhan orang utan dan selamatkan hutan aceh melalui avaaz.org.
Agus menjelaskan, apabila LSM ingin menyampaikan kritiknya, sebaiknya dilakukan ke Gubernur Aceh, DPR Provinsi Aceh atau partai politik yang memiliki kursi di DPR provinsi Aceh, atau menanyakan kepada tim terpadu yang dibentuk, yang juga terdiri dari pakar dan LSM.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 13 Maret 2013 lalu telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 mengenai penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut selama 2 tahun. Inpres ini merupakan penegasan kembali Presiden SBY akan upaya untuk menyelamatkan hutan alam tersisa dan lahan gambut, termasuk hutan mangrove yang masih baik di tanah air.
Melalui Inpres ini Presiden SBY menegaskan kepada seluruh pejabat di tingkat pusat maupun daerah untuk menjaga keberadaan hutan alam dan gambut yang tersisa, sesuai dengan semangat Inpres. Hal ini artinya penugasan kepada beberapa kementerian terkait seperti Kementerian Kehutanan, Menteri Dalam Negeri untuk mengawal berbagai perubahan tata ruang provinsi dan daerah agar tidak mengurangi luas hutan alam yang tersisa.(ys/es/skb/bhc/opn) |