JAKARTA, Berita HUKUM - Sejak muncul kebijakan yang tidak pro rakyat dengan menaikkan tarif administrasi pengurusan STNK dan BPKB, geliat ekonomi rakyat kian tergerus. Fakta dari kenaikan tersebut berdampak sangat luas hingga mengganggu kebutuhan hidup masyarakat.
Penegasan ini disampaikan Anggota DPR RI Bambang Haryo Soekartono di ruang kerjanya, Jumat (13/1). Karena biaya administrasi STNK dinaikkan, tentu berdampak pada kebutuahan transportasi publik, baik angkutan penumpang maupun logistik. Kenaikan ini juga menurunkan daya beli masyarakat. Sektor industri dan usaha ikut tergerus. Pada gilirannya menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional, karena yang dihantam pemerintah, kata Bambang, sektor transportasi.
"Di awal tahun ini sudah banyak sekali kenaikan. Penerimaan negara dari pajak rakyat sudah cukup besar. Jadi, tak perlu lagi ada PNBP. Masyarakat sudah dibebani pajak luar biasa besar. Bahkan, sudah ada program pengampunan pajak supaya masyarakat dan para pengusaha tidak dibebani pajak terlalu besar," ucap Bambang.
Tak layak bagi Polri untuk menaikkan tarif adminstrasi STNK dan BPKB, karena PNBP Polri adalah yang terbesar kedua sekitar Rp9 triliun, setelah PNBP Kemenhub. Dengan menaikkan tarif pengurusan STNK dan BPKB 100-300 persen, dipastikan PNBP Polri juga meningkat sekitar Rp20 triliun. Ini sangat fantastis. Jadi, tak logis ketika Kakorlantas berargumen tarif STNK naik, lantaran bahan material pembuatan STNK juga naik.
Di Indonesia, ungkap Anggota F-Gerindra itu, ada sekitar 16 juta kendaraan kecil (roda 4) untuk privat maupun publik, 6 juta truk, 1,5 juta bus, dan 200 juta sepeda motor. Semua ini menjalankan roda perekonomian nasional. Bisa dibayangkan jumlah PNBP yang diterima Polri dari kenaikan administrasi STNK dan BPKB. Tarif transportasi juga bisa naik.
Ditambahkan Anggota Komisi VI ini, sangat aneh ketika pertama kali kenaikan tarif STNK dan BPKB diumumkan, banyak pihak di pemerintahan tak mengakui. Padahal, PP No.60/2016 sudah ditandatangani Presiden. Menkeu dan Kapolri sempat tak mengakui kenaikan tersebut. Bila sampai tidak ada yang mengakui kebijakan tersebut, maka bisa dipastikan tarif kenaikan pengurusan STNK dan BPKB adalah ilegal.
Belakangan baru diakui oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution bahwa PP tersebut memang betul ditandatangani Presiden. Tapi, Presiden mempertanyakan kenaikan yang sampai 300 persen itu. Di sisi lain, sambung Bambang, sosialisasi kebijakan ini sangat minim. Sama ketika cukai rokok dinaikkan, tak ada sosialisasi yang memadai. Idealnya, sebelum kenaikan diterapkan, ada sosialisasi satu bulam sebelumnya.
Politisi dari dapil Jatim I ini, mengusulkan, mestinya ada tim indevenden yang secara khusus menghitung dengan akurat, berapa kebutuhan kenaikkan tarif pengurusan STNK dan BPKB. Hasil perhitungannya harus diumumkan ke publik. Ini lebih akuntabel dan transparan agar masyarakat umum, terutama pengguna transportasi tak dirugikan dan dibebani biaya tinggi. Dan ternyata, imbuh Bambang lagi, biaya pengurusan kendaran di Indonesia sangat mahal daripada di luar negeri.(mh/DPR/bh/sya) |