Diyakini, kesusastraan merupakan nafas bagi kebudayaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh keberadaan bahasa lisan pada karya sastra yang merupakan sarana paling komunikatif dalam penyampaian gagasan.
Sebelum bergulirnya era modern, bisa dikatakan, kesusastraan adalah pilar kebudayaan yang paling kuat. Karya sastra telah begitu berhasil memberi pengaruh pada pembentukan karakter manusia secara massal. Keberadaan kitab suci membuktikan hal tersebut. Semua kitab suci yang diyakini sebagai “bahasa langit” oleh pemeluknya masing-masing menggunakan bahasa sastra sebagai sarana penyampaian gagasan ideologinya.
Sejarah mencatat, para sastrawan besar dunia mempunyai reputasi mentereng dan pengaruh yang kuat dalam penentuan arah kebudayaan. Hal ini berimbas pada pembentukan karakter masyarakat, minimal di negara mereka masing-masing. Sebut saja Sir Walter Scott, Victor Hugo, Leo Tolstoy, Jean Paul Sastre, Albert Camus dan William Shakespeare.
Begitu pun yang terjadi di Indonesia. Gonjang-ganjing situasi sosial politik di era Orde Baru melahirkan seorang sastrawan besar, WS Rendra. Lewat karya-karyanya, Willy – begitu orang-orang dekatnya memanggil – tidak hanya berbicara tentang romansa percintaan lelaki-perempuan, namun secara kritis juga memberi respons pada realitas kondisi yang terjadi di masyarakat.
Rendra menghabiskan sepanjang hidupnya untuk menulis sajak dan naskah drama, lalu membaca dan memainkan lakonnya sendiri. Karya-karya Rendra diakui sebagai karya-karya besar karena dianggap berhasil mewakili kegelisahan kebanyakan masyarakat yang hidup dalam bayang-bayang distorsi teror penguasa. Keberanian Rendra untuk mengatakan apa yang harus dikatakan membuat masyarakat merasa menemukan “Seorang Pembela”.
Pilihan bahasa dan alur cerita pada karya-karya Rendra dikenal begitu “mencengangkan”. Ketelanjangan dan kejujuran Rendra justru memperkaya keindahan karya-karyanya. Secara kritis, tajam, namun tetap religius dan indah, Rendra menyampaikan pandangannya tentang banyak hal: ketidakadilan dalam penegakan hukum, kepincangan kesejahteraan, otoritas kekuasaan yang kelewatan, kapitalisme, tersesatnya arah pendidikan, kesenian dan kebudayaan, serta ambiguitas sikap kaum beragama dalam kehidupan keagamaan.
Tekanan politik kala itu tak berhasil menyumpal mulut WS Rendra dan Bengkel Teaternya. Berbagai deraan dan tekanan politik justru semakin mengasah kretifitasnya, juga mempertajam keberaniannya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Boleh dibilang, dengan berbagai hal yang terjadi, justru semakin mewarnai keindahan Si Burung Merak. Keindahan ini semakin mengundang daya tarik yang lebih luas.
Dalam situasi ini, WS Rendra menjadi figur yang dimusuhi sejumlah pihak sekaligus disayang. Berbagai penghargaan dari pemerintah kala itu terkesan paradoks dengan realitas yang ada. Bayangkan saja, menurut pengakuan sejumlah kerabatnya, dari tiap sepuluh titik pementasan drama yang direncanakan, rata-rata hanya enam titik yang terselenggara dengan kehadiran Rendra, karena di empat titik yang lain Rendra harus mendekam di bui karena dianggap berpotensi menyebarkan provokasi ke masyarakat luas.
Penghargaan-penghargaan yang pernah diterima WS Rendra, baik dari Pemerintah maupun yang lain, diantaranya: Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Tak hanya dianggap istimewa oleh pecinta sastra di Indonesia saja, karya-karya Rendra juga menjadi bahan kajian serius oleh beberapa ilmuwan di luar negeri. Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”.
Karya Rendra juga dikaji oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul “Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.”
Rendra juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur(1992), dan Tokyo Festival (1995).
Perhatian para ilmuwan sastra dunia atas karya-karya WS Rendra tentu menjadi bukti kapasitas seorang WS Rendra. Sudah semestinya, hal tersebut juga menjadi kebanggaan tersendiri bagi dunia sastra tanah air.
“Ketegangan” Rendra yang tersirat lewat karya-karyanya tersebut mengisyarakatkan kepeduliannya terhadap keselamatan masa depan bangsa ini. Tentu saja, yang dikehendaki Rendra adalah rekonstruksi atas nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dalam perjuangan menegakkan martabat kemanusiaan di Indonesia.
Pertanyaannya sekarang, apakah sepeninggal WS Rendra, cita-cita luhur itu telah terwujud? “Ketegangan” Rendra kala itu nampaknya menjadi ketegangan sejumlah pihak. Ada kerinduan yang dalam terhadap kehadiran sosok seorang WS Rendra, karena memang hingga sekarang, rasanya belum ada lagi seorang sastrawan yang mampu menggantikan peran WS Rendra.
Kerinduan yang dalam itu dirasakan oleh mereka yang pernah bekerjasama dengan WS Rendra, mereka yang mengikuti proses kreatifnya, para wartawan yang selalu mengikuti sepak terjang WS Rendra, teman dan sahabat dekatnya, orang-orang yang mencintai Rendra dan karya-karyanya, bahkan mungkin sampai para birokrat yang pernah merasakan kritik pedasnya.
Barangkali, sejumlah judul Sajak dan Pementasan Teater berikut akan mengingatkan kita kembali pada keindahan kepak Si Burung Merak: Sajak Sebatang Lisong, Paman Doblang, Pamflet Cinta, Orang-orang Rangkas Bitung, Aku Mendengar Suara, Orang-orang Miskin, Hai Ma!, Nyai Dasima, Bersatulah Pelacur-pelacur Jakarta, Nyanyian Angsa, Mencari Bapa, Mastodon dan Burung Kondor, Macbeth, Kasidah Barzanji, Panembahan Reso, Kisah Perjuangan Suku Naga dll.
Tiga tahun sudah WS Rendra meninggalkan kita, yang menyayanginya. Kini kerinduan akan Rendra, kerinduan pada karya-karyanya, begitu dalam ada dihati sahabat-sahabat dan “ pengagumnya”. Rindu Rendra ……..(bhc/rat/ljl/dbs)
|