Oleh: Dr. H. Tony Rosyid
VIRAL DI medsos Komnas HAM akan konferensi pers. Tepatnya hari senen kemarin, 28 Desember 2020 Jam 11.00. Publik menunggu, apa temuan yang akan diungkap oleh Komnas. Penasaran!
Dalam kasus penembakan enam anak muda di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek ditemukan banyak kejanggalan. Simpang siur informasi dan tanggapan terhadap hasil rekonstruksi menyisakan banyak pertanyaan.
Antara foto janazah yang beredar dengan pernyataan sejumlah pihak dianggap oleh publik belum sinkron. Artinya, perlu penjelasan lebih detail. Apakah dua janazah yang ditembak di KM 50 itu langsung mati, atau meninggal di rumah sakit? Apakah empat jenazah berikutnya, seluruhnya ditembak di mobil, atau ada yang ditembak di tempat lain? Tembaknya jarak dekat, atau jarak jauh? Menembaknya menggunakan pistol kaliber berapa? Lalu, berapa jumlah seluruh peluru yang ditembakkan? Peluru yang konon katanya tembus kepala dan punggung itu kemudian mengenai sasaran yang lain atau menerpa ruang hampa?
Apakah foto-foto janazah yang beredar itu asli, atau editan? Kalau editan, pihak yang mengedit harus dituntut. Kalau asli, bagaimana menjelaskan sejumlah lubang peluru di dada para janazah? Kenapa ada kulit terkelupas. Ada alat vital janazah yang melepuh. Apakah melepuh sendiri, bekas kejatuhan benda berat, atau ada orang yang membuatnya melepuh? Janazah kenapa harus diotopsi saat keluarganya tidak mengijinkan?
Betulkah enam anggota FPI membawa senjata api? Asli, rakitan atau hasil dari merebut punya orang-orang yang berpakaian preman yang ternyata kemudian diketahui adalah aparat? Berapa jumlah senjata itu? Mereka dapat dari mana? Apakah senjata itu sudah ada yang digunakan untuk menembak? Kalau sudah, mengenai sasaran apa saja?
Soal sejumlah CCTV yang semula diklaim rusak, berikutnya diakui oleh PT. Jasa Marga tidak rusak, hanya saja gak bisa kirim rekaman, sekarang Komnas HAM memberi informasi ada ratusan potongan rekaman (10 menitan) dari empat CCTV yang terpasang di KM 48-51. Kenapa harus dipotong? Kenapa hanya sampai KM 51? Bukannya di KM 52+200 menurut rekonstruksi ada peristiwa penting?
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung. Publik berharap dapat penjelasan dari temuan Komnas HAM.
Setelah sekian hari menunggu, Komnas HAM pun menggelar konferensi pers. Apa yang dilaporkan? Beberapa proyektil dan bangkai mobil, bekas tembakan. Kalau hanya sekedar ingin menyampaikan informasi itu, tak perlulah konferensi pers. Habiskan waktu dan tenaga awak media saja. Heboh kali rasanya. Tiga minggu, tak signifikan progresnya.
Apatisme publik terhadap Komnas HAM terjawab sudah. Dan memang selama ini, tak banyak kasus HAM yang bisa dituntaskan oleh Komnas HAM.
Apatisme inilah yang membuat publik dari awal mendorong kasus ini dituntaskan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Sayangnya, presiden menolak dibentuknya TPF. Ada Komnas, kenapa bikin TPF? Karena kerja Komnas dianggap tak meyakinkan. Maka, perlu membuat TPF. Kalau Komnas HAM bisa dipercaya, penemuannya obyektif dan rekomendasinya bisa dituntaskan, untuk apa publik mendesak dibentuknya TPF Independen. Sampai disini, anda pasti paham.
So? Ada dua alternatif. Pertama, masyarakat bentuk TPF Independen. Banyak tokoh di luar pemerintahan yang punya pengalaman, mumpuni dan berintegritas untuk bekerja sebagai anggota TPF. Ada Busro Muqaddas (Muhammadiyah), Bambang Wijayanto (Mantan Komisioner KPK), Komjen (Purn polisi) Oegroseno, Abdullah Hehamahua, Natalius Pigai, Zaenal Arifin Muchtar (UGM), Piere Suteki (Undip), Azumardi Azra (Agamawan dari UIN Jakarta), Haris Azhar (advokat), dll yang bisa dipanggil untuk menjalankan TPF Independen ini.
Kedua, jika tak tuntas, dan biasanya kasus-kasus seperti ini memang tak tuntas, maka tragedi ini segera menguap dan hanya akan menjadi memori memilukan bagi bangsa ini di masa depan. Tapi, publik tak akan pernah lupa ingatan bahwa ada enam generasi muda bangsa yang ditembak mati di KM 50 dengan penanganan yang tak mencapai ujung.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.(tr/bh/sya)
|