JAKARTA, Berita HUKUM - Cuaca ekstrem yang melanda Indonesia belakangan ini mengakibatkan bencana banjir dan berdampak pada lumpuhnya produksi perikanan nasional terutama di daerah pantura, dimana tempat tersebut sebagai sentra produksi perikanan budidaya. Kerugian atas bencana banjir tersebut diperkirakan mencapai Rp 250 miliar.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengatakan curah hujan yang terjadi belakangan ini memang tinggi sekali khususnya di pantura, sehingga dalam pantauan kami bebera daerah tambaknya banyak yang tergenang air baik tambak tradisional maupun tambak intensif. “Tambak-tambak tradisional habis tergenang banjir, bahkan tambak intensif juga kena dampaknya,” kata Slamet di Jakarta, Kamis (30/1).
Daerah yang terkena dampak dari cuaca ini, sambung Slamet Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, hampir tambak-tambak daerah tersebut tergenang banjir, dan yang terkena banjir tambak ikan bandeng, udang, lele, gurame, dan nila. “Daerah terparah terkena dampak banjir Karawang, Subang, dan Indramayu,” imbuhnya.
Maka dari itu, pihaknya sedang melakukan koordinasi dengan Kepala Dinas kelautan perikanan propinsi maupun kabupaten untuk melakukan antisipasi dengan identifikasi lokasi mana saja yang tergenang banjir. Guna mengantisipasi dini dari banjir ini diimbau para pembudidaya jangan buru-buru menebar benih karena kondisi cuaca yang masih buruk. “Kami menginstruksikan kepada kepala dinas propinsi dan kabupaten yang pernah mendapatkan bantuan ekskavator untuk nanti digunakan rehabilitas tanggul dan saluran,” ujarnya.
Adapun jumlah tambak yang terkena dampak banjir ini disepanjang pantura ada sekitar 250 ribu tambak tradisional dan tambak intensif, dan kerugian ditaksir sekitar Rp 250 milliar, yaitu kerugian dari udang dan bandeng khusus dipantura saja. “Makanya kedepan KKP akan bekerjasama dengan Kementrian Pekerjaan Umum (PU) dan BPPS untuk rehabilitasi saluran,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Balitbang Kelautan dan Perikanan Achmad Poernomo mengatakan cuaca ekstream tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang terjadi pada tahun ini lebih banyak sering terjadi sehingga banyak nelayan yang tidak melaut dan mengganggu produksi perikanan khususnya perikanan tangkap. "Kalau angka kerugiannya belum bisa kami hitung berapa. Tapi yang jelas tangkapan bisa turun drastis hingga 50%. Pada saat tertentu ya, misal pada biasanya bisa dapat 100 ton mungkin sekarang dapat 50 ton," katanya.
Meski tangkapan ikan laut turun, namun dia memastikan stok dan pasokan ikan nasional masih dalam kondisi aman saat ini. Karena cuaca seperti ini biasanya hanya sampai dengan akhir bulan Februari, biasanya memasuki Maret sudah dalam kondisi normal lagi. "Stok kita itu ada 6,4 juta ton per tahun, yang bisa diambil 80% dari 6,4 juta ton. Itu supaya aman dan lestari jadi kalau kita ambil lebih dari itu nggak boleh," katanya.
Secara umum, kebutuhan konsumsi ikan nasional 35 kg per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk di atas 240 juta jiwa maka kebutuhan ikan nasional mencapai 18 juta ton per tahun.Saat ini produksi ikan nasional untuk ikan budidaya mencapai 19 juta ton, sedangkan produksi dari perikanan tangkap itu maksimal 80% dari 6,4 juta ton per tahun.
Achmad menjelaskan selama ini kategori kapal kecil ukurannya 5-10 gross tonnage (GT). Untuk berlayar mereka biasanya mengandalkan informasi dari pelabuhan sehingga masih terbatas. Sedangkan untuk kapal besar masih bisa melaut dan memiliki kelebihan mendapatkan informasi cuaca terkini karena terkoneksi dengan KKP dan BMKG.(ipb/bhc/rby) |