Oleh: Fredy Wansyah
Pemerhati Kajian Konsumsi Sosial
“Kenapa asap rokok yang lebih ramai dikampanyekan? Kenapa tidak asap kendaraan saja diramaikan?” Begitu paparan seorang pembicara dalam sebuah diskusi publik di Jakarta baru-baru ini mengenai persoalan rokok.
Kampanye antirokok di ruang-ruang publik memang banyak. Di bus umum, misalnya, terdapat kampanye jauhi rokok. Di halte-halte bus tertempel poster-poster bahaya konsumsi rokok. Selain di bus dan halte, mall-mall, sekolah-sekolah, dan gedung-gedung perkantoran pun kerap ditempeli poster antirokok dan bahaya rokok. Kampanye-kampanye bahaya polusi kendaraan bermotor justru jarang.
Padahal, pertumbuhan (volume) dan laju penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta cukup tinggi. Gaikindo mencatat, penjualan mobil secara wholesale atau proses penjualan dari distributor ke dealer pada Januari – Juli 2012 mencapai 103.219 unit. Pada tahun sebelumnya, 2011, penjualan mobil selama setahun mencapai 894.180 unit. Dari akumulasi penjualan mobil nasional itu, penjualan mobil mewah, hanya mobil yang tergolong mobil mewah, di Jakarta saja mencapai 861 unit, selama Januari – Mei 2012. Dapat dibayangkan betapa tingginya konsumsi mobil di Jakarta.
Sementara itu, AISI (Asosiasi Sepeda Motor di Indonesia) mencatat, penjualan sepeda motor secara wholesale pada Januari – Juli 2012 mencapai 4,328,642 unit. Pada tahun sebelumnya, 2011, penjualan motor selama setahun mencapai 8,043,535 unit.
Data PU (Pekerjaan Umum) tercatat, penambahan kendaraan baru setiap hari sebanyak 1.117 kendaraan. Arus penambahan seperti ini tentu akan menimbulkan kemacetan yang sangat parah dalam beberapa dekade ke depan, di kala jalan raya tidak bertambah lebar atau proyek-proyek pelebaran jalan raya pun jadi alternatif.
Dari data itu, jelas gas buang dari kendaraan bermotor semakin bertambah setiap hari. Artinya, setiap hari masyarakat Jakarta dihadapi penambahan-penambahan polusi udara dari kendaraan bermotor. Berdasarkan data penelitian, sebesar 70% pencemaran udara berasal dari kendaraan bermotor. Masyarakat seakan telah terpatri cara berpikir “sadar sehat karena sakit”. Begitu pula pengatur regulasi aktivitas jual-beli kendaraan bermotor di negeri ini, khususnya di Jakarta. Bila kelak sudah jatuh sakit, barulah sadar pentingnya kesehatan.
Kesadaran
Aktivitas penggunaan kendaraan bermotor di masyarakat seperti ini bermula dari kemudahan proses jual beli kendaraan, selain faktor lambatnya pengadaan media publik, seperti transportasi umum yang layak. Proses jual-beli kendaraan ini pun dipengaruhi atas rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penggunaan kendaraan massal. Artinya, ada dua sisi utama dalam pembenahan laju konsumsi kendaraan, yakni sisi kesadaran masyarakat dan sisi kesadaran pemerintah –sebagai pengatur regulasi di masyarakat. Kedua-duanya tentu memerlukan peranan pemerintah. Keduanya saling terkait dan saling mendukung.
Mengenai kesadaran masyarakat, perlu diadakan semacam pembinaan di dalam masyarakat mengenai konsumsi kendaraan. Pembentukan kesadaran akan lebih efektif bila dilakukan sejak dalam pendidikan. Artinya, skala sekolah menengah atas (SMA) perlu disertakan kurikulum mengenai konsumsi dalam kehidupan bermasyarakat.
Konsumsi di dalam kehidupan bermasyarakat perlu dibatasi. Di tengah-tengah derasnya komoditas, seseorang perlu pemahaman konsumsi secara bijak. Konsumsi yang bijak ialah konsumsi yang tidak mengedepankan nilai prestise, melainkan memahami antara kebutuhan dan keseimbangan sosial. Seperti konsumsi kendaraan, misalnya, kebutuhan “alat” perpindahan (akses ke suatu wilayah ke wilayah lainnya) sesungguhnya dapat diatasi dengan transportasi publik. Kendaraan pribadi bukanlah suatu prioritas bila transportasi publik telah tersedia dengan baik, sesuai standar keamanan dan kenyamanan masyarakat. Kesadaran masyarakat seperti ini tentu akan berimbas pula terhadap kesadaran pemerintahan di masa yang akan datang.
Mengenai kesadaran pemerintah, sudah selayaknya pemerintah meniru negara-negara yang mampu mengatur kebijakan jual beli kendaraan di masyarakat. Contohnya, Jepang, Cina, dan Singapura. Pemerintahan dari ketiga negara ini berperan aktif dalam mengelola kebijakan jual beli kendaraan. Di Singapura, misalnya, menerapkan sistem kuota (vehicle quota system) dan pemberian pajak yang tinggi terhadap kepemilikan kendaraan. Tentunya, selain regulasi seperti itu, pemerintah pun perlu mewujudkan adanya transportasi publik yang aman dan nyaman guna mendukung pembatasan konsumsi kendaraan. Apabila regulasi berjalan dan transportasi umum tidak layak, maka masyarakat tetap berprioritas pada konsumsi kendaraan pribadi.
“Solusi-solusi” yang selama ini ditawarkan bukanlah solusi efektif. Hanya bersifat temporari atau sementara dan seakan solusi fiktif. Pembuatan jalan layang, pelebaran jalan, pembuatan jalan tol, sistem buka tutup pintu tol, dan sistem pengendalian kendaraan berdasarkan plat nomor justru merupakan langkah-langkah mendukung aktivitas konsumsi kendaraan. Tidak ada gunanya pembuatan 1.000 jalan layang di Jakarta kalau toh masyarakat Jakarta membeli 1.500 – 2.000 unit kendaraan setiap hari.
|