JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembai menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) pada Rabu (16/9). Pada sidang kesebelas ini, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) selaku Pihak Terkait menghadirkan tiga orang saksi untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Tiga saksi dimaksud yakni Imam Syafi'i, Ningsih, dan Surati yang merupakan mantan pekerja migran Indonesia.
Permohonan perkara Nomor 83/PUU-XVII/2019 ikhwal pengujian UU PPMI ini diajukan oleh Asosiasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATAKI). Dalam permohoannya, Pemohon mendalilkan Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI bertentangan dengan UUD 1945.
Imam Syafi'i dalam keterangannya berkisah mengenai pekerjaan dia sebagai anak buah kapal (ABK) pada 2011-2013. Kapal tempat ia bekerja beroperasi di Pantai Gading, Afrika Barat. Dalam kesaksian Imam, pada awal penempatan kerja, ia menandatangani perjanjian kerja lapangan (PKL) dengan 162 orang pekerja lainnya dengan masa kontrak kerja selama dua tahun. Dalam kontrak tersebut disebutkan dirinya berhak mendapatkan gaji pokok sebesar 180 dolar Amerika Serikat per bulan dan uang bonus sebesar 400 dolar Amerika Serikat. Adapun untuk gaji per bulan akan dikirimkan langsung pada pihak keluarga.
Namun, permasalahan muncul pada Juli 2012 saat semua kapal dari perusahaan tempatnya bekerja diminta untuk bersandar ke pelabuhan terdekat dengan alasan mengalami kebangkrutan. Saat itu hanya pekerja dari Tingkok yang diperkenankan turun untuk dipulangkan. Sedangkan pekerja yang berasal dari Myanmar dan Indonesia diminta untuk bertahan di kapal untuk menunggu dijemput oleh pihak pengirim pekerja.
Selang enam bulan berlalu, para pekerja tersebut tidak juga dijemput. Kemudian beberapa dari pekerja nekat turun ke darat dan bekerja untuk bertahan hidup. Imam mengakui beruntung karena mendapat pertolongan dari warga di sekirar di wilayah Caracas dan menghubungi keluarga serta melaporkan hal-hal yang dialaminya kepada pihak berwenang. Singkat cerita, pada Februari 2013 Imam dipulangkan ke Indonesia dengan 56 ABK lainnya secara bertahap.
"Sesampai di Indonesia, ternyata gaji saya yang dikatakan per 3 bulan akan dikirim ke keluarga itu tidak dilakukan oleh pihak perusahaan. Apa yang ada pada kontrak kerja tidak dijalankan sepenuhnya oleh perusahaan hingga akhirnya kami melaporkan kepada pihak yang berwenang. Pihak perusahaan ditangkap dan secara sah sesuai dengan putusan pengadilan Jakarta Barat dinyatakan bersalah dan telah melakukan tindak pidana serta memalsukan keterangan negara dengan tindak perdagangan orang," ungkap Imam yang saat ini memilih sebagai aktivis laut mendampingi para pekerja yang mengalami masalah yang sama seperti dirinya.
Tindak Pelecehan
Berikutnya Ningsih, pekerja migran Indonesia asal Indramayu yang menceritakan dirinya mendaftarkan diri pada Juni 2019 sebagai pekerja yang akan dikirimkan ke Hongkong oleh PT Citra Karya Sejati. Setelah proses surat dan keperluan untuk pengiriman pekerja rampung, Ningsih pun menandatangani surat perjanjian kerja dengan deskripsi pekerjaan sebagai pekerja yang akan menjaga dan merawat orang lumpuh.
Pada 27 September 2019, Ningsih diterbangkan ke Hongkong dan dijemput oleh pihak perusahaan. Ia menginap selama dua hari di rumah penampungan pekerja. Selanjutnya, Ningsih dijemput oleh pihak majikan.
Majikan yang menjemputnya tersebut adalah laki-laki berbadan sehat dan tidak lumpuh sama sekali. Saat itu, ia sempat melakukan penolakan untuk diberangkatkan ke tempat majikan tersebut. Namun pihak perusahaan meminta Ningsih untuk mencoba tawaran pekerjaan yang telah ada. Ningsih pun menuruti dan berharap dapat bekerja sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Akan tetapi, hal yang didapatkan justru sebaliknya. Ningsih diperlakukan dengan tidak pantas oleh majikannya. Bahkan Ningsih harus tidur di kamar mandi untuk menghindari tindak pelecehan yang dilakukan sang majikan.
"Sampai hari ke-3 saya masih diperlakukan sama dan bahkan saya dipukul dengan sapu. Akhirnya saya bilang sama agensi kalau saya mau pulang karena diperlakukan tidak manusiawi dan dilecehkan juga," cerita Ningsih pada Majelis sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Hal senada juga dialami Surati. Pada awalnya Surati mendaftarkan diri sebagai pekerja migran ke Taiwan. Namun dalam proses perekrutan pekerja, perempuan asal Tulang Bawang, Lampung ini kemudian ditawarkan untuk bekerja di Malaysia pada salon kecantikan. Setelah semua urusan dokumen keberangkatan dan administrasi selesai, ia pun dijanjikan untuk dipekerjakan selama 8 jam sehari dan mendapatkan uang lembur jika bekerja melebihi waktu tersebut. Sesampai di Johor, Malaysia, ia pun mendapatkan pelatihan selama tiga bulan sebelum kemudian dipekerjakan pada tempat yang telah dijanjikan.
Namun malang, ia justru dipekerjakan sebagai tukang pijat refleksi yang harus menawarkan beberapa jasa tambahan lainnya pada setiap pelanggan yang datang. Kejadian menyedihkan yang dialami Surati setelah dipekerjakan untuk hal-hal yang tidak wajar, ia pun hanya dibayarkan dengan sistem kerja per jam dengan nominal 60-70 ribu rupiah. Adapun untuk keperluan makan dan kesehatan, para pekerja harus menanggung masing-masing.
"Kalau kami bekerja selalu diawasi. Semua kebutuhan kami untuk makan sehari-hari atau berobat semua biaya sendiri. Ternyata pekerjaan saya tidak sesuai kontrak kerja," ungkap Surati yang saat bekerja harus bertempat tinggal dalam sebuah mess tertutup dan terjaga ketat bersama 14 pekerja migran lainnya.
Sebagaimana diketahui, pengujian UU PPMI ini diajukan oleh ASPATAKI. Pemohon mendalilkan keberadaan pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU PPMI yakni tentang adanya frasa "bank pemerintah" dan jumlah Rp 5 milyar sebagai modal yang disetor serta jumlah satu milyar lima ratus juta rupiah dalam deposito yang harus sudah disetorkan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Uang sejumlah lima milyar rupiah tersebut bukanlah jumlah yang dapat dijangkau oleh setiap entitas termasuk P3MI.
Selain itu, penerapan kewajiban bagi P3MI untuk memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit lima milyar rupiah sangat jelas memberikan perlakuan yang tidak adil. Sementara dalam ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya menentukan minimal Rp 50 juta. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan atas ketentuan hukum yang mana yang harus lebih dahulu dijalankan dalam penempatan pekerja migran Indonesia.
Sebagai kali ini merupakan sidang pemeriksaan terakhir. Sebelum menutup persidangan, Anwar Usman mengingatkan para pihak untuk menyerahkan kesimpulan dan lampiran keterangan dari saksi serta daftar jawaban pertanyaan yang belum terjawab dari berbagai pihak. Penyerahan kesimpulan dapat dilakukan selambat-lambatnya pada Kamis, 24 September 2020 pukul 11.00 WIB ke Kepaniteraan MK.(MK/bh/sya) |