JAKARTA, Berita HUKUM - Tim Komisi IX DPR RI melakukan kunjungan ke Rumah Sakit Siloam, guna melakukan mendapatkan informasi mengenai penggunaan obat anestesi yang mengakibatkan pasien di rumah sakit tersebut meninggal dunia.
“Masalah ini sangat krusial untuk bisa dipertanggungjawabkan ke depannya terhadap servis yang dilakukan oleh rumah sakit, tidak hanya RS.Siloam. Kondisi akan berbahaya jika tidak dilakukan investigasi yang benar,” ungkap Anggota Komisi IX Irma Suryani (F-Nasdem), usai bertemu dengan Direksi RS. Siloam, di Karawaci, Tangerang, Jumát (20/2).
Ikut dalam Tim Komisi IX adalah Irgan Chairul Mahfiz (F-PPP), Roberth Rouw (F-Gerindra), Amelia Anggraini (F-Nasdem), Ayub Khan (F-PD), Ali Taher (F-PAN), dan Andi Fauziah Pujiwatie Hatta (F-Golkar).
Irma Suryani, mengungkapkan Komisi IX melakukan pendalaman kasus ini, agar tidak terjebak dalam penafsiran yang salah, karena kasus ini belum selesai dan masih dalam investigasi. Hal itu penting agar masyarakat bisa aman ke rumah sakit tanpa takut akan kesalahan-kesalahan seperti ini.
“Pendalaman ini dibutuhkan agar diketahui sebenarnya akar permasalahannya, dan solusi yang harus dilakukan selanjutnya, karena masyarakat Indonesia sekarang menunggu apakah RS ini aman bagi masyarakat,” kata Irma.
Ia menyatakan, Komisi IX tidak menyatakan bahwa RS. Siloam yang salah atau PT.Kalbe Farma yang salah, sebelum ada investigasi final. Untuk itu Komisi IX hadir untuk berdiskusi dengan direksi RS.Siloam dan melihat langsung dan ingin mengetahui SOP yang dilaksanakan.
“Komisi IX Ingin mengetahui prosedur yang dilakukan oleh para dokter pada saat melakukan operasi atau tindakan-tindakan yang akan berakibat fatal, dan ngin mengetahui SOP (Standar Operasional Prosedur) yang belaku di RS ini sehingga kami dapat mengetahui keputusan yang akan diambil terkait kasus yang terjadi di RS ini,” tegas dia.
Hal senada disampaikan, anggota Komisi IX lainnya. Ali Taher Parasong, kedatangannya dimaksudkan untuk mencari informasi tentang permasalahan yang muncul di RS. Siloam atas wafatnya 2 pasien ketika operasi yang menggunakan Buvanes Spinal. “Persoalan sedang kami kaji dan dalami supaya ada kejelasan terkait dengan penggunaan obat tersebut,” katanya.
Ali Taher menjelaskan yang menjadi persoalan sekarang ini adalah Buvanes Spinal yang 4 ml yang biasa digunakan tetapi ternyata dalam tindakan terhadap 2 pasien itu Buvanes Spinal digunakan adalah 5 ml.
“Ini yang sedang kita cari, kenapa tiba-tiba hal itu diluar standar, karena standar internasional adalah 4 ml, dan yang 4 ml itulah yang diproduksi oleh PT.Kalbe Farma yang kemudian digunakan oleh rumah sakit. Persoalannya adalah kenapa ada 5 ml yang keluar di situ. Nah ini sedang kita jajaki. Apakah ini kesalahan dan kelalaian rumah sakit atau kelalaian produksi di pabrik,” tegas Ali Taher.
Sementara, kunjungan investigasi Komisi IX DPR RI ke PT Kalbe Farma produsen obat anestesi Buvanest Spinal dengan nomor batch 630077, berhasil memperoleh sejumlah temuan penting. Hal tersebut akan menjadi catatan sebelum komisi yang membidangi masalah kesehatan ini dapat mengurai persoalan dibalik meninggalnya dua pasien di RS Siloam Tanggerang setelah diinjeksi obat ini.
“Masih terlalu dini untuk menentukan siapa yang bersalah atas peristiwa meninggalnya dua pasien RS. Siloam, Karawaci. Namun Kami punya temuan, catatan-catatan penting yang kami dapatkan dari investigasi langsung kami hari ini ke PT Kalbe Farma,” jelas anggota Komisi IX Rieke Dyah Pitaloka usai kunjungan di Cikarang, Jawa Barat, Jumat (20/2).
Politisi FPDIP ini mengungkapkan penarikan Buvanest Spinal 4 ml dari pasaran bukan menjadi bukti adanya masalah atau kesalahan di pihak produsen. Ada dugaan Buvanest Spinal 4 ml Mixed up (tercampur atau tertukar) dengan asam traneksamat yang merupakan injeksi untuk mengurangi pendarahan, namun dia tidak ingin menduga-duga atau berasumsi dalam menangani kasus tersebut, perlu pendalaman lebih lanjut.
Terkait dengan sudah ditariknya batch Buvanest Spinal dan dua batch asam traneksamat dari peredaran di seluruh Indonesia oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Rieke mengatakan hal itu bukan menjadi sebuah jawaban siapa yang bersalah atas kasus tersebut.
“Saya tidak ingin menduga-duga atau berasumsi atas kasus ini. Sejauh ini kami juga belum menerima laporan resmi dari BPOM, namun jika kemudian ada penarikan larutan injeksi Buvanest Spinal 4ml dari pasaran hal itu bukan serta merta ada masalah di injeksi Buvanest Spinal 4 ml itu, itu bagian dari SOP. Mohon kesabaran dari semua pihak untuk penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus ini,” ungkapnya.
Rieke menjelaskan sudah menjadi SOP (Standard Operating Procedure) kalau sebuah obat atau injeksi diduga menimbulkan sesuatu yang beresiko tinggi, itu memang harus dihentikan terlebih dahulu produksinya, ditarik kembali produksinya untuk sementara waktu guna diteliti dan ditinjau lebih jauh lagi akar permasalahannya.(as/Ayu/dpr/bhc/sya) |