JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) akan melakukan pemeriksaan setempat kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena gagal memberikan bukti kuat terhadap informasi yang dikecualikan. Pemeriksaan tersebut dilakukan KI Pusat untuk menyelesaikan sengketa informasi terkait kasus audit Hambalang antara BPK selaku termohon dengan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) selaku pemohon. Padahal hasil audit BPK terhadap pembangunan Stadion Hambalang jilid I dan jilid II ini akan digunakan PATTIRO untuk melakukan kajian pola generik kerugian negara pada proyek infrastruktur.
PATTIRO menilai bahwa BPK belum melaksanakan peraturan secara sungguh-sungguh dan sangat tidak konsisten. Pertama, berdasarkan peraturan yang ada BPK menyatakan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Audit Hambalang Jilid I dan Jilid II adalah informasi yang dikecualikan, sehingga tidak bisa dibuka kepada publik. Padahal, informasi LHP tersebut, pada bulan Agustus 2013 lalu telah diberikan kepada Komisi IX DPR-RI.
"Sehingga pengecualian informasi menjadi tidak relevan. Berdasarkan pasal 7 ayat (5) undang-undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), LHP yang telah diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. PATTIRO khawatir, jika informasi tersebut tidak dibuka kepada publik akan menjadi alat tawar menawar politik yang akan merugikan rakyat," ujar Sad Dian Utomo Direktur Eksekutif PATTIRO dalam siaran persnya Rabu (5/2).
Kedua, jika BPK menilai dan menyatakan bahwa dari hasil LHP audit Hambalang terindikasi kerugian negara atau telah terjadi tindak pidana, sehingga menurut BPK informasi LHP Audit Hambalang yang diminta oleh PATTIRO adalah informasi yang dikecualikan karena memuat informasi audit investigasi dan fraud forensic, seharusnya BPK hanya melaporkan hasil audit kepada instansi yang berwenang. Dalam hal ini apakah Komisi IX DPR RI merupakan pihak yang berwenang menerima informasi tersebut?
Menurut Kuasa Hukum BPK, penyerahan LHP kepada Komisi IX DPR RI karena yang meminta untuk melakkukan audit investigasi adalah Komisi IX DPR RI. Siapa saja, bisa itu DPR, Masyarakat, LSM, berhak meminta audit investigasi atas dasar data yang mereka miliki, atau berdasar dari temuan LHP sebelumnya. Kemudian, muncul pertanyaan, apakah Komisi IX DPR RI memiliki hak untuk meminta hasil audit investigasi? Apakah Komisi IX DPR RI.
Termasuk instansi yang berwenang sesuai dengan pasal 14 Undang-Undang nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara? Menjawab dua pertanyaan ini, Kuasa hukum BPK mengatakan bahwa audit investigasi yang berdasarkan dari permintaan pihak luar, dalam hal ini Komisi IX DPR-RI, memang baru terjadi kali ini. Sebelumnya BPK belum pernah melakukan audit investigasi berdasarkan permintaan dari pihak luar BPK.
Menurut PATTIRO, Komisi IX DPR-RI bukanlah pihak yang berwenang untuk menerima dan menguasai informasi yang memuat hasil pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan fraud forensic. Karena, jika terindikasi kerugian negara atau telah terjadi tindak pidana, pihak berwenang yang berhak menindak lanjuti hasil audit tersebut adalah Penegak Hukum.
Karena komisi IX DPR RI bukan pihak yang berwenang (Penegak Hukum) untuk menerima informasi yang dikecualikan oleh BPK, maka atas perbuatan pemberian dan penerimaan informasi yang dikecualikan ini, BPK dan DPR bisa dikenakan pasal 54 ayat (1) UU KIP.
Pasal 54 ayat 1 UU KIP menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (bhc/rls)
|