JAKARTA, Berita HUKUM - Adanya keadaan darurat dapat dibenarkan menjadi alasan langkah pengurangan hak asasi manusia. Oleh karena itu, otoritas yang berhak menetapkan keadaan darurat harus memiliki otoritas untuk melakukan pengurangan atau birokrasi hak asasi manusia.
“Dalam hal ini, otoritas tersebut adalah otoritas tertinggi yang memiliki kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, menjadi tepat bahwa konstitusi kita mengatur kekuasaan untuk menyatakan keadaan darurat ada di tangan presiden,” ujar Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichatul Aswidah sebagai ahli dari Pemohon pada Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (24/4).
Pada sidang yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva, Roichatul menegaskan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dinyatakan Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibat dari keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Roichatul juga menjelaskan definisi keadaan darurat harus keadaan yang mengancam kehidupan bangsa, maka otoritas yang berwenang harus yang dapat memberikan penilaian apakah memang kehidupan bangsa telah terancam. Bahkan untuk daerah yang luas geografisnya terbatas, keadaan darurat ditetapkan ketika ancaman bukan hanya mengancam kehidupan sepenggal daerah tersebut.
Konstitusi di Indonesia, imbuhnya, sangat sejalan dengan pandangan dan ketentuan hak asasi manusia. Komentar Umum Nomor 29 yang dikeluarkan oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB juga menyatakan bahwa pada saat menyatakan keadaan darurat, dengan konsekuensi adanya pengurangan hak negara harus bertindak dalam ketentuan konstitusi dan ketentuan hukum lainnya yang mengatur penetapan keadaan darurat, serta pelaksanaan kekuasaan dalam masa darurat.
Terkait pasal yang diujikan, Roichatul menyatakan ketentuan Pasal 26 UU Penanganan Konfik Sosial pada dasarnya membahayakan hak asasi manusia. “Bupati atau walikota tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan keadaan darurat dan kemudian melakukan langkah pengurangan hak asasi manusia. Harus sungguh diperhatikan bahwa langkah pengurangan hak dilakukan dalam kerangka untuk menjawab kedaruratan yang kemudian menjadi tidak terpisahkan dari otoritas yang mendefinisikan dan menetapkan keadaan darurat tersebut,” paparnya.
Sebelumnya, sejumlah LSM, yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG), M. Choirul Anam, dan Dosen Universitas Pertahanan Indonesia dan Direktur Program Ridep Institute, Anton Aliabbas, yang diwakili sejumlah kuasa hukum memohonkan uji materi UU Penanganan Konflik Sosial dengan perkara nomor 8/PUU-XII/2014. Pemohon menguji dua pasal dalam UU tersebut, yakni Pasal 16 dan Pasal 26. Kedua pasal tersebut berbunyi:
Pasal 16
Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 26
Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.
Menurut Pemohon, tidak seharusnya kepala daerah dapat menetapkan status keadaan konflik. Konstitusi, imbuhnya telah mengatur status keadaan darurat hanya dapat ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden. Oleh karena itu, penetapan status keadaan konflik sosial pun seharusnya ditetapkan secara resmi oleh Presiden. Pasalnya, status keadaan konflik sosial memiliki kualifikasi yang sama dengan status keadaan darurat atau bahaya menurut ketentuan UUD 1945. (Lulu Hanifah/mh/mk/bhc/sya) |