JAKARTA, Berita HUKUM - Dua Komisioner Komnas HAM mengaku telah menyampaikan sejumlah aduan dari Presidium Alumni 212 kepada Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. Baik terkait aduan mengenai kasus kriminalisasi ulama, makar, hingga pembubaran HTI.
"Jadi hasil pertemuan ini menindaklanjuti permintaan alumni Presidium 212 termasuk pengacaranya komunitas Muslim, khususnya Habib Rizieq, Al Khaththath, kemudian para aktivis seperti Sri Bintang Pamungkas, Ibu Rachmawati dan lain sebagainya. Kasus yang dilaporkan ke Komnas HAM itu kurang lebih sebanyak 20 orang minimal," ujar Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, di Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (9/6).
Menurut Natalius, komunitas Muslim yang mengadu pada Komnas HAM meminta pemerintah melakukan rekonsiliasi terhadap kondisi-kondisi yang bisa menimbulkan kegaduhan nasional. Natalius berharap Wiranto dapat menyampaikan permintaan tersebut kepada Presiden Joko Widodo.
"Komnas HAM menyampaikan bahwa pentingnya rekonsiliasi, karena persoalan ini tidak hanya sekadar persoalan hukum antara mereka yang diduga korban dengan pihak pemerintah, tapi sudah masuk aspek lebih serius yaitu terganggunya keharmonisan sosial, fragmentasi sosial, bahkan hampir terganggunya integritas nasional. Oleh karena itu, Komnas HAM meminta Menkopolhukam menyampaikan pada Presiden untuk mengambil langkah-langkah menyelesaikan secara komprehensif menutup kegaduhan nasional," kata Natalius.
Ia pun menyebut Presiden Jokowi mempunyai kewenangan untuk menghentikan proses-proses hukum kasus yang diadukan Presidium Alumni 212 melalui jalur non yudisial. Menurut Natalius, Presiden Jokowi bisa memerintahkan polisi untuk mengeluarkan SP3 atau memerintahkan kejaksaan menerbitkan deponeering.
"Proses hukum itu akan terhenti apabila Presiden mengambil keputusan karena pengambilan keputusan untuk non yudisial ada di tangan Presiden. Seandainya Presiden berkeinginan menyelesaikan secara komprehensif, maka Presiden bisa memerintahkan pihak Kepolisian dan Kejaksaan untuk menutup SP3 atau deponeering di Kejaksaan," tutur Natalius.
Kendati demikian, Natalius menampik bahwa hal tersebut termasuk intervensi terhadap proses hukum. Sebab menurut dia, keterlibatan Presiden dalam penyelesaian kasus ini berdasarkan permintaan Komnas HAM.
"Jadi tidak ada intervensi hukum. Jadi ini atas permintaan Komnas HAM. Komnas HAM melakukan mediasi, juga keinginan menyelesaikan (kasus) berasal dari mereka yang diduga korban. Jadi sama sekali enggak ada intervensi. Hukum tetap kita hormati," ujar dia.
Natalius menambahkan pihak Kemenkopolhukam menerima dengan baik audiensi yang dilakukan bersama dengan Komnas HAM. Adanya rekonsiliasi dari pemerintah menurut Natalius akan membuat Presiden Jokowi lebih fokus dalam mewujudkan nawacitanya.
"Saya kira jawaban dari mereka menurut saya cukup progresif, mereka akan melakukan pertemuan internal di lingkungan jajaran Menkopolhukam, kemudian sampaikan kepada Menkopolhukam dan Menkopolhukam akan menyampaikan kepada presiden dan selanjutnya di tangan presiden. Menurut imbauan kami, saya bersama Komnas HAM meminta mari kita tutup kegaduhan nasional. Kita bekerja 1,5 tahun lagi. 1,5 tahun lagi kita bekerja secara serius sebagaimana cita-cita nawacita. Nawacita itu akan terganggu kalau kegaduhan tetap terus menerus dibiarkan. Presiden harus mengambil alih untuk memutus mata rantai seluruh kegaduhan nasional ini," kata dia.(kumparan/bh/sya) |