MOJOKERTO (BeritaHUKUM.com)- Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengapresiasi langkah Pemerintah Daerah Mojokerto memenuhi hak perempuan korban perkosaan atas pendidikan. Kebijakan ini adalah bentuk konkret negara untuk pemenuhan kewajiban konstitusionalnya terhadap hak atas pendidikan sebagaimana diamanatkan pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
“Biasanya dalam budaya masyarakat yang masih patriarkhis, perempuan korban kekerasan seksual, selalu dinilai tidak baik, suka keluar malam, dan kerap disalahkan sebagai pihak yang menggoda lawan jenisnya. Padahal, relasi antara laki-laki dan perempuan, sering tidak seimbang dan menunjukkan
subordinasi terhadap perempuan,” kata anggota Komnas Perempuan Bidang Reformasi Hukum dan Kebijakan, Ninik Rahayu kepada wartawan, Sabtu (15/1) kemarin.
Langkah baik ini ini dilakukan dengan dikeluarkannya kesepakatan bersama Nomor 180/755.A/416-205/2011 tentang Revitalisasi Program Keluarga Berencana dalam Mendukung Keterpaduan Pelaksanaan Pendidikan Beretika dan Berakhlak Mulia antara Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kabupaten Mojokerto dengan Dinas Pendidikan (Disdik).
“Upaya Kabupaten Mojokerto memberikan sekolah inklusi bagi perempuan korban perkosaan adalah upaya positif perlindungan bagi perempuan korban kekerasan seksual yang perlu diletakkan dalam upaya yang lebih besar yaitu membangun perspektif perlindungan dan pemulihan perempuan korban kekerasan seksual sebagai kekerasan berbasis gender,” jelas Ninik.
Komnas Perempuan mendukung langkah baik Kabupaten Mojokerto tersebut. Namun, berharap sekolah inklusi tersebut tidak semata dibuat demi mengejar ketertinggalan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sekolah tersebut harusl ditujukan untuk menjawab kebutuhan strategis, yakni pemenuhan kewajiban negara atas hak pendidikan setiap warga negara, termasuk perempuan usia sekolah yang mengalami kehamilan atau kekerasan seksual.
“Untuk itu, Komnas Perempuan mendorong Pemerintah Daerah Mojokerto terus membangun situasi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan berbasis pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender baik di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda,” tandasnya.
Pemahaman yang baik tentang kekerasan terhadap perempuan berbasis gender dapat mendorong arah perubahan kebijakan yang eksklusif menjadi inklusif. “ Artinya pendidikan bagi korban perkosaan atau kehamilan lain di usia sekolah, tidak lagi dilakukan secara terpisah, tetapi mereka tetap bisa bersekolah di sekolah umum seperti anak-anak lainnya, sehingga proses interaksi sosialnya tidak terganggu dan upaya pemulihan korban dapat berjalan,” pungkasnya.(sin)
|