JAKARTA, Berita HUKUM - Aktivis yang juga merupakan Koordinator Gerakan Perubahan (GARPU) Muslim Arbi menyampaikan agar sebaiknya pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang dilakukan oleh Komisi XI DPR RI periode 2014-2019 perlu di tinjau kembali.
Pertanyaannya, ialah mengapa perlu ditinjau kembali?
Menurut Arbi mengatakan, "karena proses pemilihannya banyak menimbulkan tanda tanya di benak publik," ujar Muslim Arbi, Senin (7/10).
Adapun, beragam alasan menurut Arbi yaitu:
Pertama (1), sedari sisi konsitusi BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) setingkat dengan Presiden. Sehingga posisi BPK sangat staregis dalam melaksanakan tugas sebagai badan pemeriksa keuangan negara.
"Posisi ini tidak bisa di kendalikan oleh kekuatan manapun termasuk kekuatan partai. Hingga proses pemilihan para anggotanya harus benar-benar mempertimbangkan kualitas anggota terpilih sesuai amanat konsitusi," tegasnya.
Saat pemilihan 5 (lima) anggota BPK yang dilakukan oleh Komisi XI DPR RI 2014-2019 lalu, banyak mendapat kritik dari sejumlah aktifis, ungkap Arbi.
"Para aktifis memandang pemilihan 5 anggota BPK lalu itu penuh dengan misi dan kepentingan Partai Politik. Tak bisa di pungkiri kepentingan politik dan para politisi yang terpilih sekarang meninggalkan vested interest nya sebagai kader parpol dibanding sebagai apararat negara yang bertindak jujur dan profesional sebagaimana amanat UU," jelas Arbi.
Sementara, "Empat (4) dari lima anggota BPK terpilih adalah kader kader Partai Politik. Mereka telah gagal sebagai Caleg di daerah pemilihannya masing-masing dan beradu nasib di BPK," ujar Arbi.
Dalam hal ini, kemuka Arbi bahwasanya tak bisa dipungkiri publik merekam jejak mereka diantara kader-kader Parpol tersebut, seperti;
1. Daniel Lumban Tobing, Kader PDIP wilayah Jabar VII yang gagal ke Senayan. Memiliki latar belakang dibidang kelistrikan.
2. Pius Lustrilanang, Kader Gerindra dari NTT yang juga caleg gagal sebagai anggota DPR RI. Pius ini disebut namanya saat kasus rencana pembangunan Gedung DPR RI yang gagal beberapa waktu lalu.
3. Harry Azhar Azis, kader Golkar dan mantan Ketua PB-HMI.
4. Ahsanul Qosasi, Kader Partai Demokrat.
5. Hendra Susanto, adalah Eselon II BPK. Terpilihnya Hendra ini dianggap merusak tatanan di BPK karena melompati para eselon I di BPK. Dia terlilih karena ditengarai karena direkomendasikan oleh "Bos Pejaten".
"Apalagi melihat tata cara pemilihannya, para pakar menilai, pemilihan 5 anggota BPK itu, melanggar UU no 15 tahun 2006. Yaitu mempertimbang komposisi. Tidak bisa hanya di dominasi para politisi," cetusnya.
Kemudian, Lanjut Arbi menambahkan lagi bahwa dari sisi tenggat waktu pemilihan yang di lakukan oleh Komisi XI itu cacat prosedur.
"Rekomendasi dari DPD (Dewan Pereakilan Daerah), di abaiakan. Calon-calon unggulan direkomendasikan DPD tidak dianggap oleh Komisi XI," timpal Arbi.
Atas dasar itulah, ujar Koordinator GARPU itu menilai sepertinya komisi XI DPR RI 2014-2019 itu seolah memandang Negeri ini milik partai politik saja, sehingga hanya dari parpol saja diakomodir.
"Selainnya tidak dianggap. Termasuk masukan dari DPD dan menuai kritikan oleh berbagai kalangan di media," Imbuhnya.
Bahkan, disamping itu ditengarai juga ada pejabat yang kasusnya sedang ditangani KPK yang bermain memodali terpilihnya 5 anggota BPK baru tersebut untuk selamatkan kasusnya, ujar Arbi.
"KPK bisa mempelajari ini secara cermat. Komisi XI DPR RI 2014-2019 juga dianggap meremehkan Presiden, karena seharusnya tanggal 6 September, nama2 terpilih sebagai anggota BPK sudah ada di Meja Presiden, nyata, baru tanggal 26 September," ungkapnya penuh tanda tanya.
Perlu digarisbawahi, ungkap Arbi, "melihat proses dan tatacara pemilihan 5 anggota BPK oleh komisi XI itu dianggap melanggar pasal 1, 2 dan 3 UU no 15 tahun 2006. Oleh karena disarankan kepada Presiden jangan tanda tangan atas 5 anggota BPK terpilih," ujar Arbi.
Sementara, apabila Presiden tanda tangan, maka proses yang dilakukan dengan melanggar UU itu, berakibat Presiden dianggap ikut melakukan pelanggaran UU juga. "Kelihatannya Presiden diberi bola panas oleh DPR periode lalu, sebagaimana bola panas yang sama dilakukan dalam hebohnya RUU KPK dan RUU KUHP," tegas Arbi.
"Apakah dalam kasus terpilihnya 5 anggota BPK yang banyak disorot itu akan menimbulkan gejolak seperti protes terhadap RUU KPK dan RUU KUHP? Karena Publik dan para aktifis tidak inginkan BPK di pimpim oleh kader2 partai yang bermasalah?" jelasnya.
"Maka sebaiknya dilakukan pemilihan anggoat BPK baru, melalui DPR 2019-2024 sesuai dengan mekanisme UU dan mempetimbangkan saran dan pertimbangan dari DPD, hingga terpilih anggota BPK profesional dan berintegritas. Bukan dari kalangan kader Partai yang akhirnya jadi beban politik ke depan," pungkas Arbi.(bh/mnd) |