JAKARTA, Berita HUKUM - Kriminalisasi korban dan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) adalah bertentangan dengan konstitusi dan menggorogoti kewibawaan hukum. Kasus penetapan status tersangka kepada Istri wakil Walikota Magelang yang sedang mencari keadilan atas tindak kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) yang ia alami adalah salah satu contohnya.
Bersama dengan pendamping, korban ditetapkan sebagai tersangka atas gugatan pencemaran nama baik suaminya. Penetapan korban sebagai tersangka menimbulkan dugaan bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan pemegang kuasa. Kriminalisasi menghalangi korban untuk dapat menikmati haknya sebagai warga negara atas jaminan perlindungan hukum, sebagaimana dimandatkan oleh Konstitusi, khususnya Pasal 28D Ayat 1.
Kriminalisasi korban juga bertentangan dengan tugas perlindungan hukum dalam peradilan nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Lebih lanjut, kriminalisasi korban dan pendamping bertentangan dengan Pasal 10 UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 10. Bila kriminalisasi korban terus berlanjut, maka perempuan korban kekerasan akan semakin enggan untuk melaporkan kasusnya sehingga impunitas akan berlanjut.
Ancaman kriminalisasi korban atas gugatan pencemaran nama baik terutama diajukan oleh pelaku pejabat publik dan tokoh masyarakat. Korban dengan gampang dituduh berbohong atau dipolitisir. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa sepanjang Tahun 2012, Komnas Perempuan menerima pengaduan 54 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pejabat publik dan tokoh masyarakat, baik itu dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kejahatan perkawinan, pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual.
Komnas Perempuan menilai sikap pelaku menuntut balik korban sebagai upaya membangun pencitraan positif atas diri dan jabatannya demi melanggengkan kekuasaannya sebagai pejabat daerah maupun tokoh masyarakat.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa kriminalisasi korban kekerasan terhadap perempuan masih terjadi karena infrastruktur hukum belum memadai. Di aspek substansi hukum, meski ada jaminan perlindungan hukum, namun pasal pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan jurang dalam Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT justru dijadikan cara untuk menjerat perempuan korban. Upaya istri untuk melindungi diri dan anaknya dari kekerasan suami dengan cara pergi dari rumah kerap dituduh sebagai tindak pencurian, penculikan anak, atau bahkan penelantaran rumah tangga ketika istri tidak membawa serta anaknya.
Di aspek struktur, tidak ada kebijakan satu pintu dan minim koordinasi dalam menangani kasus yang berkaitan di kepolisian. Komnas Perempuan menemukan kasus-kasus dimana pelaporan istri korban KDRT justru tidak tertangani atau berjalan sangat lambat meski telah lebih dahulu melaporkannya, dibandingkan dengan gugatan pelaku KDRT.
Di aspek budaya, masih banyak aparat penegak hukum yang menanggap KDRT bukan sebagai kejahatan melainkan persoalan rumah tangga sehingga tidak diberikan perhatian serius dalam penanganannya.
Berkenaan dengan itu, Komnas Perempuan:
Mendesak penghentian segenap proses kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan, saksi dan pelapor, termasuk dalam kasus kekerasan di dalam rumah tangga;
Mendorong Kapolri untuk menerbitkan kebijakan untuk pemeriksaan satu pintu untuk menangani kasus yang berkaitan, menaati aturan perlindungan bagi saksi dan korban yang melaporkan tindak kekerasan agar tidak mengalami kriminalisasi, dan memerintahkan penundaan pengusutan gugatan balik hingga proses persidangan kasus utamanya usai;
Mendorong penyempurnaan substansi hukum terintegrasi dalam revisi KUHP untuk melindungi perempuan korban kekerasan dari balas dendam dalam bentuk apapun, apalagi melalui kriminalisasi;
Mengajak mekanisme pengawasan, seperti Kompolnas, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial untuk proaktif memeriksa dugaan kriminalisasi korban;
Memastikan pemulihan korban sebagai bagian tidak terpisahkan dari perlindungan dan dukungan bagi perempuan korban kekerasan.(bhc/rat)
|