MEDAN, Berita HUKUM - Kisruh yang melanda kepimpinan Gubernur Sumatera Utara kian hari semakin memanas, dan berujung kepada diajukannya Hak Interpelasi para anggota DPRD Sumatera Utara kepada Gubernur Sumatera Utara. Tentu saja hal itu dibenarkan oleh Undang-Undang, walaupun kita tidak tahu ending dari Hak Interpelasi itu untuk pemakzulan atau ada kepentingan lainnya Yang pasti menurut hemat kami, suatu hal yang wajar dalam negara yang demokratis, legislatif (DPRD) meminta penjelasan kepada eksekutif (Gubernur) terkait kebijakan-kebijakan penting dan strategis yang telah ditetapkan eksekutif, apakah kebijakan tersebut sudah sesuai penerapannya dan pelaksanaannya atau sebaliknya.
Jadi, penggunaan hak interpelasi ini jangan dianggap suatu hal tabu atau negatif, karena mengajukan hak interpelasi merupakan suatu Hak legislatif yang sudah diatur dalam pasal 27A Undang-Undang No. 22 Tahun 2003. Dan seperti yang kita ketahui, diajukannya Hak Interpelasi kepada terkait banyak hal. Pertama, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Pemprov Sumut tahun 2013.
Kedua, dugaan pelanggaran terhadap Keputusan Mendagri No. 900-3673/2014 tentang Evaluasi Ranperda Sumut tentang P-APBD 2014 dan rancangan Pergub tentang penjabaran P-APBD 2014 tanggal 16 September 2014.
Keputusan Mendagri No. 903-3749/2014 tentang Ranperda Sumut tentang APBD 2015 dan rancangan Pergub tentang penjabaran APBD 2015 dengan tidak adanya upaya dari Pemprov Sumut untuk menindaklanjuti hasil evaluasi Kemendagri yang pada dasarnya mengisyaratkan penyelesaian hutang-piutang Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Pemprov Sumut kepada daerah Kabupaten/Kota se Sumut.
Ketiga, kesalahan menetapkan asumsi penerimaan pemerintah Pemprov Sumut, khususnya Pendapatan Asli Daerah sehingga menimbulkan hutang secara berkelanjutan.
Keempat, tidak dilaksanakannya azas pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta azas kepatutan dalam hal pengajuan Hasban Ritonga (berstatus tersangka) sebagai salah satu calon Sekretaris Daerah Pemprov Sumut dan melantiknya sebagai Sekda.
Kelima, tidak adanya upaya Pemprov Sumut untuk menyelesaikan hutang-hutang karena tidak tercapainya target PAD pada TA 2014 mengakibatkan timbulnya hutang-hutang baru sejumlah Rp 400 miliar kepada kontraktor. Hal ini mengakibatkan keresahan pada kalangan dunia usaha (kontraktor) yang pekerjaan mereka telah selesai 100 persen.
Dari kelima alasan ini, sudah tepat dan beralasan DPRD Sumut mengajukan Hak Interpelasi, artinya Gatot selaku Gubernur Sumut harus siap mempertanggungjawabkan kebijakan kebijakan yang telah ditetapkan dan hasil laporan keuangannya. Jika ditemukan adanya dugaan korupsi , maka patut secara hukum Gatot selaku Gubernur Sumut harus diproses. Perlu dingat, dalam hal ini LBH Medan tidak ada mendukung salah satunya, yang terpenting adalah jikalau sikap dan tindakan kedua pejabat pemerintahan tersebut (eksekutif dan legislatif) melanggar hukum, harus juga tetap diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, objektif, proporsional dan adil. Oleh karenanya sepanjang Hak interpelasi itu untuk kemaslahatan umat dan perbaikan, kita wajib mendukungnya, terlepas ada dari kepentingan-kepentingan politik didalamnya.
Dan jikalau Hak Interpelasi meningkat menjadi Hak Angket dan kemudian ending nya berujung kepada pemakzulan Gubernur Sumatera Utara, like or dislike kita selaku masyarakat harus legowo dan jiwa besar menerima keputusan tersebut, demi tegaknya demokratisasi hukum di Sumatera Utara. Demikian rilis pers dari Mhd. Khaidir F. Harahap, SH, MH, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan (LBH Medan) yang diterima redaksi di Jakarta pada, Rabu (11/3).(rls/bhc/sya)
|