Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Lingkungan    
Toba Pulp Lestari
LP3-NKRI Sebut PT TPL Terus Lakukan Pelanggaran
Monday 01 Apr 2013 22:33:32
 

Staff ahli program kesehatan lingkungan Jaringan Kesehatan Masyarakat (JKM) Indonesia, Ir. Fadmin Prihatin Malau.(Foto: BeritaHUKUM.com/and)
 
MEDAN, Berita HUKUM - Ketua pemantau tingkat wilayah Lembaga Pemantau Penyelenggaraan Pemerintah Negera Kesatuan Republik Indonesia (LP3-NKRI), Sudhiarto mengatakan banyaknya desakan berbagai elemen masyarakat untuk mencabut izin PT Toba Pulp Lestari (TPL). Ini terjadi karena terus bermasalah dengan masyarakat seperti dengan petani Kemenyan di Humbang Hasundutan yang oleh perusahaan milik Sukamto Tanoto itu menebangi tanaman Kemenyan milik masyarakat dengan alasan sebagai areal konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH) milik perusahaan sudah tepat.

Alasannya kata Sudhiarto karena TPL banyak melakukan pelanggaran dalam hal ini masalah izin Hak Pengelola Hutan (HPH) yang sangat mendasar mengenai SK Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 493/Kpts-II/1992 yang mewajibkan penerima HPH harus menata tapal batas area konsesi paling
lama 36 bulan sejak diterbitkan izin HPH, bila tidak maka izin HPH dapat dicabut kembali.

“Izin HPH PT TPL itu tahun 1992, sudah lebih dari 36 bulan atau tiga tahun ternyata sampai kini tapal batas area konsesi itu tidak jelas atau belum ada, maka bermasalah dengan petani Kemenyan,” katanya, Senin (1/4).

Fakta yang ada sejak perusahaan peghasil bubur kertas itu dari bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) sampai dengan berganti nama dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terus bermasalah, maka solusi terbaiknya ditutup saja sebab tujuan dari hadirnya sebuah perusahaan raksasa pada
satu daerah untuk mensejahterakan masyarakat juga sampai hari ini tidak menjadi kenyataan.

Ditambahkannya, secara de facto lahan kawasan hutan Kemenyan sudah dikelola warga masyarakat secara turun temurun sejak zaman Belanda. Pada zaman Belanda lahan hutan tanaman Kemenyan itu oleh Belanda dibolehkan untuk dikelola, disadap getahnya, akan tetapi Belanda melarang untuk ditebang sebab tanaman Kemenyan termasuk tanaman langka di dunia. Namun, kini justru TPL dengan arogannya menebang tanaman Kemenyan yang dilindungi itu dengan alasan areal konsesinya.

Seharusnya kata Sudhiarto, tapal batas area konsesi HPH itu harus sudah ada paling lama 3 tahun setelah izin HPH diterbitkan sehingga tidak terjadi masalah seperti sekarang, maka masalah yang terjadi akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukan pihak perusahaan.

Sangat disesalkan akibat perusahaan tidak mematuhi ketentuan yang ada, maka terjadi kontak fisik antara warga (para petani) dengan pihak perusahaan yang mengakibatkan 31 orang petani ditahan pihak kepolisian.

Penanganan yang Kurang Tepat

Konflik masyarakat dengan TPL menurut Sudhiarto harus diselesaikan dengan mengkedepankan penegakkan hukum, bukan aksi kekerasan dan membenturkan masyarakat dengan aparat kepolisian. Mengapa harus pakai pengawalan Brimob, apa legalitasnya karena lahan pertanian tanaman
Kemenyan bukan proyek vital yang dapat sewaktu-waktu membahayakan masyarakat.

Proyek vital seperti pabrik bubur kertas (pulp) TPL di Porsea itu yang sangat berpotensi bahaya bila terjadi sesuatu maka wajarlah dikawal dengan Brimob, sebab tidak bisa dibayangkan jika pabrik pulp TPL di Porsea itu meledak, Toba Samosir bisa hancur maka dapat dikategorikan proyek vital, sama halnya dengan gardu pembangkit listrik milik PLN dan lainnya.

Kata kunci menyelesaikan masalah adalah melakukan penegakkan hukum kepada siapa saja yang melanggar hukum termasuk pelanggaran hukum izin HPH yang dilakukan perusahaan sehingga bila ini dilakukan tidak terjadi masalah dan korban jiwa.

Semua prodak hukum di Indonesia harus dihormati dan dipatuhi termasuk Undang-Undang (UU) Tanah Ulayat, Tanah Adat yang kini juga sedang digodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat sebagai memperkuat UU yang sudah ada yakni UU tanah Ulayat dan tanah Adat.

Menjawab pertanyaan Prestasi tentang desakan masyarakat mencabut izin TPL, katanya itu karena masyarakat melihat sudah terlalu banyak kesalahan yang dilakukan perusahaan. Faktanya memang sejak bernama Indorayon sampai kini TPL terus bermasalah dari segi limbah yang mencemari lingkungan, bermasalah merusak hutan, bermasalah hancurnya infrastruktur seperti jalan di Tapanuli sampai kepada bermasalah dengan tujuan satu industri berdiri pada satu daerah yakni mensejahterakan masyarakat. Apakah masyarakat sudah sejahtera dengan hadirnya satu industri di daerah itu.

“Jadi wajar dan harus disikapi dengan arif bijaksana akan desakan itu,” katanya menandaskan.

Salah dari Awal

Menanggapi permasalahan petani Kemenyan dengan TPL, Staff ahli program kesehatan lingkungan Jaringan Kesehatan Masyarakat (JKM) Indonesia, Ir. Fadmin Prihatin Malau mengatakan permasalahan lingkungan harus menjadi tolak ukur dalam pembangunan, sebab pembangunan yang diinginkan
semua negara di dunia, termasuk Negara Pemerintahan Indonesia adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Dari segi regulator atau Undang-Undang sudah cukup baik akan tetapi implementasi atau eksekusi dari Undang-Undang itu yang belum dilaksanakan dengan baik, ”masih tebang pilih” sehingga terus
menimbulkan masalah.

Menurut Fadmin Prihatin Malau, selama perusahaan tidak melaksanakan Undang-Undang secara baik dan benar maka selama itu pula permasalahan terus terjadi maka mengapa dari sejak bernama Indorayon sampai kini TPL terus bermasalah karena dari awal kurang atau tidak mengikuti peraturan, Undang-Undang secara baik dan benar.

Dinilainya, masyarakat Indonesia sangat baik, terutama masyarakat Tapanuli sangat baik, masyarakatnya sangat terbuka dan jujur sehingga jangan langsung disalahkan masyarakat akan tetapi harus dilihat akar permasalahan yang sebenarnya. Tidak mungkin masyarakat komplein atau protes tentang lingkungan bila lingkungan itu tidak tercemar.

“Masalah lingkungan adalah masalah fakta, bukan masalah katanya. Semuanya bisa diukur, semuanya bisa dilihat maka mari sama-sama kita lihat fakta yang ada,” kata Malau yang membeberkan berbagai fakta di lapangan tentang kerusakan lingkungan.(bhc/and)



 
   Berita Terkait > Toba Pulp Lestari
 
  LP3-NKRI Sebut PT TPL Terus Lakukan Pelanggaran
  Konflik Lahan dengan PT TPL, 16 Warga Dijadikan Tersangka
  BAKUMSU: Pemerintah Harus Segera Tutup PT TPL
  Limbah PT TPL Kembali Meresahkan, Masyarakat Ancam Demo
  Puluhan Organisasi Bergabung Untuk Menutup PT TPL
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2