JAKARTA, Berita HUKUM - Empat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tiga Pemohon perorangan menggugat ketentuan Kebebasan Berserikat dalam Undang-Undang Organisasi Masyarakat (Ormas). Keempat LSM tersebut antara lain Yayasan FITRA Sumatera Utara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sedangkan Pemohon perorangan perkara ini, yaitu Presidan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Choirul Anam, dan Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti. Sidang pendahuluan perkara ini digelar, Senin (27/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Para Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 1 angka 1, angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, c, dan e. Para Pemohon beranggapan pasal-pasal tersebut merugikan hak konstitusional Para Pemohon yang berupaya untuk mendorong mendorong partisipasi dan inisiatif masyarakat dalam pembangunan termasuk dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, pemberatasan korupsi, maupun penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.
“Para Pemohon merasa dirugikan dengan adanya rumusan pasal, ayat, dan frasa dari undang-undang a quo karena tidak sejalan dengan jaminan hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara serta berseberangan dengan jaminan hak atas kebebasan berserikat yang bertentangan dengan Pasal 24C, 28C ayat (2), dan 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Wahyudi Djafar selaku kuasa hukum Pemohon.
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Ormas yang memberikan definisi mengenai organisasi kemasyarakatan menurut Pemohon telah menyempitkan jaminan perlindungan hak atas kebebasan berserikat. Pasal 1 angka 1 UU Ormas berbunyi, “Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirkan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.”
Dalam permohonannya, Para Pemohon menganggap dalam kerangka hukum internasional hak asasi manusia, hak atas kebebasan berserikat memang termasuk hak yang dapat dibatasi pelaksanaannya. Namun, dalam melakukan pembatasan harus sepenuhnya memerhatikan prinsip-prinsip pembatasan yang diatur oleh Konvenan Internasiuonal Hak-Hak Sipil dan Politik 1976. Syarat pembatasan tersebut, pertama yaitu harus diatur oleh hukum dan undang-undang (prescribed by law). Kedua, harus bersandar pada legitimasi yang sah untuk alasan kepentingan yang meliputui keamanan nasional, keamanan publikj, ketertiban umum, moral publik, kesehatan publik, dan hak atau kebebasan pihak lain. Ketiga, harus dalam suatu masyarakat demokratis.
Selain itu, Para Pemohon juga berkeberatan dengan bunyi Pasal 5 UU Ormas yang membatasi tujuan dari suatu organisasi atau serikat yang hidup di Indonesia. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut.
Pasal 5
Ormas bertujuan untuk :
a) Meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b) Memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c) Menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
d) Melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat;
e) Melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f) Mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong-royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;
g) Menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan
h) Mewujudkan tujuan negara
“Pasal 5 UU a quo jelas-jelas merupakan suatu bentuk intervensi negara yang tidak sejalan dengan jaminan perlindungan hak atas kebebasan berserikat sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Batasan pengertian mengenai organisasi kemasyarakatan yang kemudian membawahi semua bentuk asosiasi atau organisasi yang hidup di Indonesia, dengan memberikan label organisasi kemasyarakatan atau ormas, tampak telah mempersempit ruang lingkup perlindungan hak atas kebebasan berserikat atau tidak mampu mengakomodisi berbagai macam bentuk asosiasi serta organisasi yang masuk dalam cakupan perlindungan hak tersebut.
Dari Undang-Undang a quo justru memaksakan rezim pengaturan tunggal untuk seluruh asosiasi dan organisasi yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat perlindungan hak atas kebebasan berserikat,” papar Wahyudi sembari mengatakan negara tidak diperkenankan untuk menentukan tujuan dari suatu organisasi.(yna/mh/mk/bhc/rby) |