JAKARTA-Sejumlah pimpinan petinggi lembaga penegak hukum di Indonesia menandatangani nota kesepahaman (MoU) mengenai perlindungan untuk peniup peluit (whistle blower). Selain pucuk pimpinan penegak hukum, penandatanganan nota kesepahaman juga dilakukan oleh pihak pemerintah, yakni Menkum HAM Patrialis Akbar dan Menkopolhukam Djoko Suyanto.
Acara yang digagas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerja sama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) berlangsung di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa (19/7). Selain penandatanganan nota kesepahaman, acara ini juga diisi seminar internasional bertema ‘Perlindungan Whistle Blower (Peniup Peluit) Sebagai Justice Collabolator (Pelapor Pelaku)’.
"Dalam draf tersebut, para pimpinan lembaga penegak hukum menyepakati bahwa setiap informasi dari para pelaku kejahatan yang bersedia bekerja sama dengan para penegak hukum merupakan hal penting untuk membantu aparat penegak hukum. Mereka harus mendapat pelindungan secara hukum dan fisik," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai.
Menurut Abdul Haris, UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih perlu diperkuat dengan jaminan dan pengaturan lebih lanjut serta mengambil langkah-langkah strategis bersama. Upaya itu untuk memperkuat aktivitas dalam memberikan perlindungan kepada pelapor. Dia juga memperkirakan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait perlindungan wishtle blower dan justice collaborator, bakal selesai pada Desember. Saat ini, draft revisi SKB tengah dikaji tim Kementerian Hukum dan HAM.
"Diharapkan September 2011 ini, draft revisi yang sudah disempurnakan dapat diserahkakan kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional untuk lalu dibawa ke pembicaraan dengan Baleg (Badan Legislasi-red) DPR sehingga jadi prioritas UU (Undang-undang) yang dibahas 2012. Presiden sudah memberikan komitmen untuk memprioritaskan UU tersebut," kata Semendawai yang mengungkapkan, dukungan SBY itu disampaikan dalam pertemuan dengan LPSK pada dua minggu lalu.
Dijelaskan pula, SKB merupakan rencana aksi yang disusun menyusul Instruksi Presiden Nomor 9/2011 tentang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyusunan SKB juga melibat institusi-institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK, PPATK, MA dan Kemenkumham. Tidak ketinggalan tentunya LPSK.
LPSK sendiri, kata dia, sudah menerima 213 permohonan perlindungan yang diterimanya. Namun, yang masuk kategori wishtle blower sekitar 30 persen. "Yang mengaku banyak, tapi setelah kami kaji, banyak juga yang tak masuk kategori tersebut. Untuk 2010 lalu, ada 154 permohonan. Sedangkan 2011 ini, sudah masuk 213 dan kurang lebih 30 persen mengaku wishtle blower," tegasnya.
Bagai Pahlawan
Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung (MA), Harifin A Tumpa menilai, keberadaan whistle blower dalam sebuah kasus bagai seorang pahlawan. Sudah sepatutnya orang yang bekerja sama membongkar sebuah kejahatan mendapat keringanan hukuman, ketika berhadapan dengan pengadilan.
"Ada beberapa alasan mengapa whistle blower perlu dapat keringanan hukuman. Salah satunya karena kesaksian mereka dalam rangka mengungkap sebuah kasus dianggap berjasa dan pahlawan. Keberadaan wishtle blower juga mendorong sesorang untuk mengungkap kejahatan yang terorganisir seperti korupsi dan narkotika yang meresahkan masyarakat," ujar Harifin.
Keberadaan wishtle blower, kata dia, cukup membantu penegak hukum ketika menangani sebuah kasus. Sekalipun, orang yang menjadi peniup pluit itu ternyata juga menjadi bagian dari kejahatan tersebut. "Untuk itu, penegak hukum, Jaksa, Polisi, dan Hakim akan sangat terbantu untuk mencari kebenaran yang sungguh-sungguh pada satu kasus. Kalau ada yang suka rela mengungkap tabir kejahatan, kalaupun mereka bagian kejahatanan itu sendiri tidak masalah, karena keterangan saksi seperti ini sangat penting untuk mencari siapa-siapa yang terlibat," katanya.
Dijelaskan, kesaksian seorang peniup pluit bisa jadi pertimbangan oleh hakim ketika memutuskan hukuman untuk yang bersangkutan, misalnya dengan pemberian Grasi. Pasalnya, untuk pembuktikan sebuah kejahatan yang terorganisir itu bukan hal yang muda. Hal ini bisa menjadi pertimbangan hakim. “Pemberian grasi kepada yang terhukum, akan menjadi pertimbangan MA yang kiranya bisa mendapat perhatian dari Presiden," jelasnya.
Berani Mati
Dalam kesempatan terpisah, pengacara senior Adnan Buyung Nasution mendukung langkah LPSK ini. Bahkan, dia meminta lembaga tersebut harus berani mati untuk melindungi wishtle blower. "Ini harus didukung pemerintah dan LPSK. Kalau perlu harus berani mati melindungan seorang peniup pluit tersebut,” kata Adnan Buyung.
Buyung menilai mantan kliennya, Gayus Tambunan dan mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji adalah whistle blower pertama. Tapi sayang, Gayus malah dijadikan korban. Padahal, Gayus telah memberikan informasi namun tidak ditindaklanjuti aparat hukum. "Gayus telah memberikan komitmennya pada saya untuk membongkar korupsi di perpajakan. Sayang sekali semua informasi tidak ditindaklanjuti Satgas, Polisi dan Jaksa, sehingga yang jadi terdakwa hanya Gayus sendiri," tegasnya.
Buyung mengatakan, hal tersebut yang membuat banyak orang mencari selamat. Dengan kondisi ini, belum tentu Gayus dan Susno membuka lagi kasus lainnya. “Ini bukan berarti tidak dihukum, tapi lebih baik ditindaklanjuti pengakuannya itu dulu," ujarnya.(bie)
|