JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Makin canggihnya modus operandi yang dilakukan pelaku korupsi, membuat kasus-kasus tindak pidana tersebut menjadi sulit dibongkar. Bahkan, persepsi korupsi dari lingkungan sosial, termasuk Presiden SBY dan orang-orang di sekelilingnya, ikut mempengaruhi pemberantasan korupsi.
"Ketika kita meminta Presiden untuk mendobrak suatu kasus korupsi, tiba-tiba Mas Denny (Denny Indrayana, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum) keluar dan bilang, ‘Presiden tak boleh intervensi dalam penegakan hukum’," kata anggota DPD RI Farouk Muhammad dalam acara diskusi di gedung DPD RI, Jakarta, Jumat (16/9).
Padahal, jelas dia, dalam masalah ini ada pemahaman yang salah tentang intervensi. Definisi intervensi yang tak dibolehkan dilakukan Presiden ini, hanya terkait substansi sebuah perkara hukum. "Tapi kalau bicara manajemen perkara, ini (Presiden) boleh (turun tangan)," jelas Farouk.
Sementara peneliti ICW Febri Diansyah menyatakan, persekongkolan kejahatan keuangan di Indonesia mendekati sempurna. Artinya, kompleksitas modus kejahatan dilakukan secara berlapis dan sampai tahap hampir mustahil tercium Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Modus baru korupsi ini lewat persilangan kepentingan antara birokrasi, mafia bisnis, serta politisi di DPR. Ini akan sempurna kalau dilindungi juga oleh mafia hukum," jelasnya.
Modus yang semakin canggih ini, lanjutnya, dapat dilihat pada kasus tertangkaptangannya pengusaha dan pejabat birokrat di dua kementerian, Kemenakertrans dan Kemenpora. Padahal, ujar Febri, sebelumnya modus korupsi terbilang masih sederhana.
"Melalui pengadaan barang dan jasa dengan penunjukan langsung (tanpa tender), serta penyalahgunaan anggaran yang dialihkan langsung kepada rekening. Sedangkan modus terbaru itu, melibatkan pejabat kementerian, DPR, pengusaha dan beberapa kasusnya diduga kuat dilindungi aparat penegak hukum,” tandasnya.(mic/rob)
|