JAKARTA, Berita HUKUM - Jeritan rakyat terjadi karena Presiden Joko Widodo tidak mengikuti perintah UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Begitu yang disampaikan analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menanggapi pernyataan Presiden Jokowi yang dianggap keliru soal jeritan rakyat ketika penerapan PPKM.
"Jokowi keliru lagi. Mengapa rakyat menjerit ketika diterapkan PPKM Darurat? Sebabnya karena rakyat tidak diberikan bantuan kebutuhan dasarnya. Jokowi tidak mengikuti dan tidak mengindahkan perintah UU 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan," ujar Ubedilah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (30/7).
Menurut Ubedilah, Jokowi enggan melakukan karantina wilayah karena menghindari tanggungjawabnya untuk memberikan jaminan kebutuhan dasar rakyat.
"Maka dia gunakan istilah PPKM Darurat yang tidak ada di dalam UU 6/2018 itu. Jadi logika Jokowi keliru kalau mengatakan PPKM darurat saja menjerit apalagi karantina wilayah," kata Ubedilah.
Argumentasi Ubedillah, penyebab rakyat menjerit di saat Jokowi terapkan kebijakan PPKM darurat, rakyatnya tidak diberi uang untuk mencukupi kebutuhan dasarnya.
"Berikan setiap rakyat bantuan sebesar gaji satu bulan sesuai UMP atau disesuaikan maka rakyat tidak akan menjerit ketika istirahat sebulan di rumah," sambung Ubedilah.
Karena masih kata Ubedilah, uang pemerintah untuk melaksanakan karantina wilayah pelaksanaan karantina wilayah ada.
Ia menyarankan, untuk menghentikan sementara proyek infrastruktur atau menggunakan dana saldo anggaran lebih (Silpa) senilai Rp 388 triliun.
"Jadi utamakan nyawa rakyat dulu, ekonomi kemudian. Rakyat sehat dulu, covid reda karena rantai penyebaran terputus selama satu bulan (karantina wilayah). Maka dengan SDM yang sehat masyarakat akan produktif dan ekonomi akan bangkit kembali," pungkas Ubedilah
Sementara, Alasan pemerintah yang lebih memilih menerapkan PPKM Darurat daripada lockdown dipaparkan Presiden Joko Widodo.
Jokowi menganggap, strategi karantina wilayah atau lockdown tidak menjamin penyebaran virus Covid-19 di tengah masyarakat bisa dikendalikan.
Sehingga PPKM Darurat dia anggap sebagai strategi terbaik untuk menekan laju penularan virus, yang juga diperuntukkan memperbaiki kondisi perekonomian domestik.
Penjelasan Jokowi tersebut juga dianggap aneh oleh Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies, Gde Siriana Yusuf.
"Cara berpikir Jokowi terbalik," ujar Gde Siriana kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (30/7).
Menurut Gde Siriana, cara berpikir terbalik Jokowi yang begitu justr akan membuat pandemi Covid-19 di dalam negeri tidak pernah bisa ditangani sampai tuntas.
Berdasarkan pengamatannya terhadap strategi kebijakan di negara lain, lockdown justru dapat secara cepat menekan munculnya kasus positif baru, juga kematian akibat infeksi Covid-19 dan terjadinya kolaps rumah sakit.
"Kuncinya lockdown dua sampai tiga minggu. Artinya virus pada tubuh masyarakat sudah mati, kasus baru akan bisa segera dilokalisir ketika masih sangat sedikit," paparnya.
Selain itu, strategi lockdown juga mensyaratkan adanya pengawasan lebih lanjut di daerah yang melaksanakan, termasuk soal pembatasan orang masuk dan ke luar wilayah tersebut.
"Maka pengawasan ketat di perbatasan, agar virus dari luar wilayah tidak masuk, menjadi kunci keberhasilan," tandasnya.
Penjelasan Presiden Jokowi terkait alasan menerapkan PPKM Darurat disampaikan dalam acara Pemberian Banpres Produktif Usaha Mikro, di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat (30/7).
Dalam kesempatan tersebut Jokowi menyatakan bahwa saat dilaksanakannya PPKM Darurat sejak 3 Juli hingga 20 Juli masyarakat sudah menjerit, sehingga ia menilai PPKM Darurat sama dengan semi-lockdown.
"Kalau lockdown bisa kita bayangkan! Dan (lockdown) belum bisa menjamin juga masalah (penyebaran virus Covid-19) selesai," ujar Jokowi.(RMOL/bh/sya) |