JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan sahnya penggunaan surat keterangan (suket) perekaman KTP elektronik sebagai syarat mencoblos dalam Pemilu 2019 pada 17 April mendatang. Dalam Putusan Nomor 20/PUU-XVII/2019 yang menguji uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan untuk sebagian permohonan yang diajukan sejumlah aktivis pro demokrasi.
Perkara tersebut diajukan oleh Perludem, Titi Anggraini, Hadar Nafis Gumay, Feri Amsari, Augus Hendy, A. Murogi bin Sabar, Muhamad Nurul Huda, dan Sutrisno.Para Pemohon menguji Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4), ayat (9), Pasal 350ayat (2), Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu. Pemohon memandang banyak penduduk dengan hak pilih yang belum memiliki KTP elektronik, serta pemilih yang baru akan 17 tahun pada saat hari H pemungutan suara tetapi tidak dapat memilih karena tidak memiliki KTP elektronik. Selain itu syarat KTP elektronik juga berpotensi menghilangkan, menghalangi atau mempersulit hak memilih bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di Lapas dan Rutan, dan beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah menyatakan proses penyelenggaraan urusan kependudukan oleh pemerintah daerah masih terus berlangsung dan belum semua penduduk Indonesia memiliki KTP Elektronik.
"Kondisi tersebut dapat merugikan hak memilih warga negara yang sejatinya bukanlah disebabkan faktor kesalahan atau kelalaian sebagai warga negara. Jika syarat memiliki KTP Elektronik tetap diberlakukan bagi warga negara yang sedang menyelesaikan urusan data kependudukan, maka hak memilih mereka tidak akan terlindungi," jelasnya dalam pembacaan putusan yang berlangsung pada Kamis (28/3) siang lalu.
Palguna melanjutkan sgar hak memilih warga negara tetap dapat dilindungi, maka dalam Pemilu dapat diberlakukan syarat dokumen berupa surat keterangan perekaman KTP Elektronik. Suket tersebut diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil. Tetapi perlu ditegaskan, bukan surat keterangan yang diterbitkan atau dikeluarkan pihak lain.
"Mahkamah tetap pada keyakinan syarat minimal bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah memiliki KTP Elektronik sesuai dengan UU Administrasi Kependudukan. Namun jika belum memilikinya, maka dapat memakai surat keterangan perekaman KTP Elektronik dari dinas urusan kependudukan dan catatan sipil," terang Palguna.
Palguna menegaskan MK tidak mengubah pendiriannya sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya. Putusan MK sebelumnya memang memperbolehkan warga negara menggunakan sejumlah tanda pengenal diri untuk memilih jika tidak terdaftar dalam DPT. "Namun mesti diingat, data kependudukan saat itu belum terintegrasi," ujarnya.
Sementara, kata Palguna, sekarang situasinya berbeda. Integrasi data telah dilakukan sehingga alasan menggunakan identitas lain di luar KTP Elektronik menjadi kehilangan pijakan.
"Apabila pandangan demikian tidak disesuaikan dengan perkembangan pengintegrasian data kependudukan dan data kepemiluan maka akan berakibat terganggunya validitas data kependudukan yangsekaligus data kepemiluan yang pada akhirnya bermuara pada legitimasi pemilu," tegasnya.
Tujuh Hari Sebelum Pemungutan Suara
Sementara terkait batas waktu pindah dan menjadi Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), MK memutuskan adanya pengecualian bagi pemilih yang pindah memilih karena alasan tertentu seperti sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara dengan batas waktu 7 (tujuh) hari sebelum pemungutan suara. Sebelumnya, pembatasan waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.
"Maka pemilih dimaksud dapat melakukan pindah memilih dan didaftarkan dalam DPTb paling lambat 7 (tujuh)hari sebelum hari pemungutan suara. Adapun bagi pemilih yang tidak memiliki keadaantertentu dimaksud, ketentuan paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara tetap berlaku," tegasnya.
Penambahan Waktu 12 Jam
Sementara itu, Pemohon juga mempersoalkan ihwal batas waktu penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu berpotensi tidak terpenuhi dalam penyelenggaraan pemilu serentak sehingga dapat menimbulkan masalah dan komplikasi hukum yang dapat menyebabkan dipersoalkannya keabsahan Pemilu 2019. Mahkamah menilai untuk mengatasi potensi masalah tersebut, maka ketentuan pembatasan waktu penghitungan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dibuka namun dengan tetap memerhatikan potensi kecurangan yang mungkin terjadi. Potensi kecurangan akan terbuka jika proses penghitungan suara yang tidak selesai pada hari pemungutan suara lalu dilanjutkan pada hari berikutnya dengan disertai jeda waktu.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, perpanjangan jangka waktu penghitungan suara hanya dapat dilakukan sepanjang proses penghitungan dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN. Perpanjangan hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN, yaitu pukul 24.00 waktu setempat, merupakan waktu yang masuk akal, jika waktu tersebut diperpanjang lebih lama lagi justru akan dapat menimbulkan masalah lain di tingkat KPPS.
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan Mahkamah berpendapat, sebagian dalil para Pemohon sepanjang menyangkut pembatasan waktu penghitungan 98 suara di TPS/TPSLN sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu cukup beralasan. Hanya saja, untuk mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko kecurangan, lama perpanjangan waktu penghitungan suara cukup diberikan paling lama 12 (dua belas) jam. Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan potensi tidak selesainya proses penghitungan suara di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara.
"Sehubungan dengan itu, maka Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, "Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara dan dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara." Dengan dimaknainya Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu sebagaimana dinyatakan di atas maka semua norma yang memuat batas waktu yang terkait atau terdampak dengan penambahan waktu 12 (dua belas) jam tersebut harus pula disesuaikan dengan penambahan waktu dimaksud," jelas Saldi.
Terdaftar dalam DPT
Dalam sidang yang sama digelar juga Putusan Nomor 19/PUU-XVII/2019, yang dimohonkan oleh Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah. Mereka merasa dirugikan dengan berlakunya pasal 210 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2), Pasal 348 ayat (4)UU Pemilu. Pemohon mengujikan ketentuan hak pilih bagi pemilih yang pindah memilih untuk diakomodir dalam DPTb.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan tidak dapat menerima perkara tersebut. Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membaca pertimbangan hukum, menjelaskan MK menyebut penyusunan DPTb yang mensyaratkan bahwa pemilih pindahan harus telah terdaftar sebelumnya dalam DPT di TPS sesuai alamat KTP Elektronik tidak bertentangan dengan UUD 1945.
"Pemilih yang terhalang untuk mendapat DPTb di suatu TPS tempat tinggal pada saat hendak memilih masih dapat menggunakan hak pilihnya di TPS tempat tinggalnya yang sesuai dengan alamat yang terdapat dalam KTP-el yang dimilikinya, meskipun tidak terdaftar dalam DPT," tegasnya.
Artinya, lanjut Arief, syarat atau pembatasan yang demikian tidak menghalangi hak konstitusional pemilih untuk menggunakan hak pilihnya dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). Ketentuan Pasal 210 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu menurut Mahkamah sejatinya tidak mengatur mengenai pendaftaran calon pemilih (yaitu warga negara yang belum terdaftar sebagai pemilih) menjadi pemilih. Melainkan mengatur cara bagi pemilih warga negara yang telah terdaftar sebagai pemilih tetap untuk pindah tempat memilih.
"Adapun jika cara mendaftarkan diri sebagai pemilih di tahap penyusunan DPS tidak dipergunakan/dimanfaatkan oleh calon pemilih, menurut Mahkamah hal tersebut tidak lantas mengakibatkan prosedur pendaftaran pemillih yang diatur dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.Dengan demikian menurut Mahkamah tidak relevan Pemohon mempermasalahkan dirinya yang tidak tercatat dalam DPT. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan tidak beralasan menurut hukum," tegasnya.(ArifSatriantoro/LA/MK/bh/sya) |