JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan 'Judicial Review' atau uji materi atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Kismantoro Petrus dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (8/10) menyebutkan bahwa, hal tersebut tercantum pada putusan perkara Nomor 44/PUU-IX/2011.
Kismantoro menyebutkan, pihak pemohon uji materi terdiri atas Zukifli Muhadli, Abdul Muis, Willy M Yoseph, Hein Nomotomo dan Anwar Hafid yang mengajukan permohonan agar MK melakukan pengujian Pasal 31C ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 sepanjang menyangkut frasa ‘orang pribadi’ terhadap Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.
Pasal 31C ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 selengkapnya berbunyi "Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dalam imbangan 80 persen untuk Pemerintah Pusat dan 20 persen untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar".
Dirugikan Dalam surat permohonan kepada MK, pihak pemohon mengungkapkan alasan pengajuan uji materi (judicial review) UU tersebut, yaitu mereka dirugikan hak konstitusional dalam mendapat dana bagi hasil secara adil, sehingga menghilangkan atau mengurangi kesempatan atau kemampuan para pemohon untuk meningkatkan pembangunan dan menanggulangi kualitas lingkungan yang rusak sebagai dampak dari kegiatan pertambangan sehingga keseimbangan kemajuan ekonomi dan sistem ekonomi nasional tetap terjaga.
Pihak pemohon juga mengungkapkan bahwa, ruang lingkup bagi hasil Pajak Penghasilan antara Pemerintah Pusat dan Daerah harus dimaknai secara menyeluruh yang meliputi Pajak Penghasilan Badan dimana Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha.
Dalam pertimbangan putusannya, MK berpendapat bahwa, adalah benar subjek pajak menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 mencakup orang pribadi dan badan.
Namun tidak adanya kata "badan" dalam Pasal 31C ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 tidak berarti frasa ‘orang pribadi’ dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Disamping itu, jika penerimaan Pajak Penghasilan Badan dipaksakan untuk dibagi hasilkan kepada daerah sebagaimana bagi hasil Pajak Penghasilan Orang Pribadi, justru hal tersebut dapat menimbulkan terjadinya ketimpangan pendapatan horizontal (antar daerah) dan ketimpangan pendapatan vertikal (antara pusat dan daerah) yang dapat menimbulkan kecemburuan horizontal, ketidakadilan dan kekurangserasian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apalagi dalam praktiknya selama ini, penerimaan Pajak Penghasilan Badan pada akhirnya dibagikan kepada daerah melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta dana perimbangan lainnya.
Oleh karena itu, menurut MK, tidak masuknya Pajak Penghasilan Badan dalam dana bagi hasil adalah sudah tepat, mengingat hal tersebut dilakukan dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum oleh negara sebagai amanat UUD 1945.
Kismantoro mengatakan putusan MK ini telah memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dan Ditjen Pajak akan menghormati serta melaksanakan putusan MK ini dengan sebaik-baiknya.(rm/ipb/bhc/opn) |