Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Tipikor
Mantan Ketua DPR Gugat Ketentuan 'Pemufakatan Jahat' dalam KUHP dan UU Tipikor
2016-02-24 20:37:13
 

Ilustrasi. Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Jl. Merdeka Barat no 6 Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10110?.(Foto: BH/mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kali ini mantan Ketua DPR RI Setya Novanto menjadi Pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 21/PUU-XIV/2016 tersebut. Sidang perdana perkara tersebut digelar pada, Rabu (24/2) di Ruang Sidang MK.

Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Pasal 88 KUHP menyatakan:

"Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan".

Sementara, Pasal 15 UU Tipikor menyatakan "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14".

Diwakili oleh Muhammad Ainul Syamsu selaku kuasa hukum, Pemohon menjelaskan telah dijerat dengan kedua pasal tersebut. Pemohon menilai bahwa pengertian tentang "pemufakatan jahat" dalam Pasal 88 KUHP yang juga menjadi acuan bagi beberapa undang-undang, termasuk oleh UU Tipikor, tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru.

"Pemohon menganggap bahwa Pasal 88 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak memenuhi syarat laik serta, tidak dirumuskan secara cermat, sehingga berpotensi menghilangkan kepastian hukum dan membuka ruang terjadinya pelanggaran hak asasi dalam penegakan hukumnya," ujar Ainul di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut.

Pengertian pemufakatan jahat dalam pasal 88 KUHP, menurut Pemohon, sesuai apabila diterapkan terhadap tindak pidana umum. "Sebab, jika dipergunakan pula dalam tindak pidana khusus seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu, akan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang saat ini secara nyata dialami Pemohon," imbuhnya.

Ainul mencontohkan, penerapan Pasal 88 KUHP terhadap tindak pidana umum yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu adalah Pasal 110 ayat (1) KUHP. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107 dan 108 UU KUHP diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.

"Delik-delik ini bersifat umum dan tidak mensyaratkan kualitas tertentu, sehingga siapapun dapat melakukan kejahatan terhadap negara atau kepentingan negara sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal tersebut di atas," jelasnya.

Terkait dengan status hukum Pemohon sebagai terperiksa kasus dugaan tipikor, sejumlah pemberitaan di media massa memuat pemberitaan yang menyatakan bahwa Direktur Penyelidikan Jaksa agung Muda Tindak Pidana Khusus memandang Pemohon terlibat dalam permufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT. Freeport Indonesia.

Sementara, menurut pemohon, hal tersebut mustahil dilakukan karena dirinya tidak pada posisi yang memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Dalam kasus Pemohon, Pasal 88 KUHP diterapkan terhadap delik-delik kualitatif, seperti Pasal 3 UU Tipikor yang mencantumkan penyalahgunaan wewenang sebagai unsur delik. Padahal dalam Pasal 3, pembuat deliknya haruslah pejabat yang mempunyai kewenangan tertentu.

"Pertanyaannya adalah apakah bisa pemufakatan jahat terhadap pidana korupsi dalam Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tersebut diterapkan terhadap orang yang sama sekali bukan pejabat atau tidak mempunyai kewenangan apapun. Terkait hal ini, Pasal 88 tidak mengatur secara jelas sehingga menimbulkan multitafsir dan pada akhirnya berpotensi melanggar hak asasi orang yang menjalani proses hukum," papar Ainul.

Berdasarkan dalil tersebut, pemohon meminta frasa "pemufakatan jahat" dalam pasal 88 KUHP yang kemudian diadopsi oleh pasal 15 UU Tipikor harus dimaknai dan ditafsirkan kembali oleh MK karena ketidakpastian hukum dalam frasa tersebut dapat menjadi cikal bakal kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya sebagaimana yang dialami oleh Pemohon.

"Menyatakan ketentuan dalam pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor tersebut sebatas berkaitan dengan frasa 'pemufakatan jahat' sepanjang tidak dimaknaidengan 'dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas dan kapasitas untuk melakukan tindak pidana bersepakat melakukan tindak pidana' adalah bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Ainul.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Suhartoyo memberikan saran perbaikan. Suhartoyo menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum. Menurutnya, Pemohon perlu lebih memperdalam kerugian hak konstitusional yang dialami sebagai terperiksa.

"Mengenai kedudukan hukum, barangkali menurut saya, coba lebih ditingkatkan lagi kedudukan Prinsipal Anda itu apakah kalau masih sebagai terperiksa, kemudian kerugian konstitusionalnya sudah masuk di situ. Karena kalau terperiksa sebagai saksi, kan, tentunya juga apa yang dirugikan, karena kalau Mahkamah perlu Anda mendalilkannya, Anda membuktikan, buktikan apa yang bisa meyakinkan Mahkamah bahwa Prinsipal Anda itu sudah lebih dari diperiksa sebagai saksi," saran Suhartoyo.

Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan hingga 8 Maret 2016. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/lul/mk/bh/sya)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
5 dari 6 Orang Terjaring OTT KPK Ditetapkan Tersangka Kasus Proyek Jalan di Sumatera Utara

Pengurus Partai Ummat Yogyakarta Buang Kartu Anggota ke Tong Sampah

Kreditur Kondotel D'Luxor Bali Merasa Ditipu Developer PT MAS, Tuntut Kembalikan Uang

Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

 

ads2

  Berita Terkini
 
Psikiater Mintarsih Ungkap Kalau Pulau Dijual, Masyarakat akan Tambah Miskin

5 dari 6 Orang Terjaring OTT KPK Ditetapkan Tersangka Kasus Proyek Jalan di Sumatera Utara

Psikiater Mintarsih: Masyarakat Pertanyakan Sanksi Akibat Gaduh Soal 4 Pulau

Terbukti Bersalah, Mantan Pejabat MA Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara

Alexandre Rottie Buron 8 Tahun Terpidana Kasus Pencabulan Anak Ditangkap

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2