JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Tersangka kasus dugaan pemalsuan surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) Zaenal Arifin Hoesein berencana untuk mengajukan uji material (judicial review) UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Alasannya, penetapan kliennya menjadi tersangka kasus yang ditangani polisi itu diduga ada intervensi partai penguasa.
Langkah ini diambil, karena posisi Polri berada langsung di bawah Presiden yang bisa melakukan intervensi atas kasus yang ditangani institusi penegak hokum tersebut. "Yang intervensi kan (kasus surat palsu MK), di sini ada kekuasaan. Partai penguasa juga ada pengaruhnya, sehingga kasus ini berlarut-larut sehingga merugikan banyak pihak," kata kuasa hokum Zainal, Achmad Rifai, usai acara diskusi di Jakarta, Sabtu (10/9).
Rifai menduga pasal 8 UU Kepolisian sangatlah rentan membuka peluang bagi Presiden untuk intervensi. Berdasarkan UU Nomor 2/2002 menyebutkan, Pasal 8: (1) Kepolisian Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden; (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam Pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam kesempatan ini, Rifai juga mempertanyakan peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai lembaga pengawas akuntabilitas dan profesionalitas kepolisian. Lemabaga nonpemerintah ini tak kompeten menjalankan fungsinya.
Kompolnas, menurut dia, sebenarnya punya kewenangan besar dalam mengawasi profesionalitas polisi. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Dalam kasus surat palsu MK, Kompolnas tak juga meminta Polri melakukan gelar perkara bersama yang merupakan salah satu kewenangannya.
“(Gelar perkara) ini memang dibolehkan peraturan, tapi Kompolnas tidak punya gigi unuk memaksa Polri melakukannya. Padahal, dalam aturan dnegan jelas menyebutkan bahwa Kompolnas punya kewenangan meminta diadakan gelar perkara, bukan atas dasar kesepakatan,” jelas Rifai.
Dalam lembaga itu, ungkapnya, sebenarnya duduk tiga pejabat tinggi negara, yakni Mendagri, Menko Polhukam, dan Menkum dan HAM. Namun, hal itu tak berpengruh sama sekali. Terbukti, keberadaan tiga petinggi negara itu tak mampu mengatur profesionalitas kepolisian dalam berbagai kasus besar dan kecil. “Kompolnas ini seperti lembaga main-main,” tegas Rifai.(dbs/bie)
|