JAKARTA, Berita HUKUM - Sungai Degeuwo secara administratif masuk kedalam wilayah Kabupaten Paniai dan Intan Jaya, Propinsi Papua. Sungai ini diapit oleh kawasan hutan yang berstatus lindung dan juga sebagian hutan adat yang merupakan objek moratorium dan tidak boleh dibebani ijin baru. Sungai Degeuwo merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat Suku Moni, Wolani dan Mee. Masyarakat adat dilingkungan sungai ini hidup rukun, tentram dan merasakan kesejahteraan dari kelimpahan alam setempat. Namun hal itu kini sulit didapat, yang ada justeru permasalahan.
Sejak beroprasinya pertambangan ilegal tahun 2001 dan kini hadir pula perusahaan tambang tambang tanpa ijin asal Australia yaitu PT. West Wits Mining dan PT. Marta Mining telah menyebabkan air dan ekosistem Sungai Degeuwo tercemar. Hal ini disebabkan karena adanya buangan limbah cair berbahan Mercury keperairan sungai.
Lebih dari itu, permasalahan terus bermunculan. Kerusakan hutan, pelanggaran HAM berupa penembangan masyarakat adat, perselisihan antar suku, perselisihan antar warga adat dengan pengusaha tambang terjadi akibat adanya penambangan disepanjang Sungai Degeuwo. Bahkan saat ini di terdapat 2015 warga yang terinveksi HIV AIDS karena didatangkannya pekerja seks komersial kelokasi tambang.
Pertambangan ilegal sulit ditutup karena mendapat pengawalan dari oknum aparat kemanan, bahkan ada oknum aparat yang memiliki tambang. Sedangkan pertambangan yang dinyatakan memiliki ijin, ternyata hanya berupa ijin prinsip. Dinas Pertambangan Paniai tidak pernah terbitkan ijin.
Perampasan tanah masyarakat adat, penghancuran rumah, kebun, bukit dan tempat – tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat, pun terjadi. Salah satu pelaku adalah PT. Madinah Qurrata Ain. Tindakan ini terjadi pada 26 September 2013.
Melihat situasi sedemikan rupa, telah mengilhami terbentuknya lembaga pengembangan masyarakat adat (LPMA Swamemo). Organisasi yang dibentuk atas prakarsa tiga suku ( Moni, Wolani dan Mee) diharapkan menjadi juru bicara masyarakat dalam menghadapi kerusakan lingkungan, penindasan dan ketidak adilan, sebagaimana yang dirilis Walhi di Jakarta, Rabu (4/6).
Usaha mendesak pemerintah kabupaten Paniai, Gubernur Papua dan pihak Kepolisian agar menindak para pelaku penambangan yang merusak lingkungan, telah banyak dilakukan. Hasilnya belum memuaskan karena pada kenyataannya pemilik tambang jauh lebih kuat pengaruhnya dari pada pemerintah, terbukti mereka masih melanjutkan penambangan
Melihat hadirnya industri tambang justeru membawa kerusakan lingkungan dan kesengsaraan bagi warga adat, bukanya kesejahteraan, maka kami meminta negara dan pemerintah Indoensia agar menutup 26 pertambangan khususnya PT. West Wits Mining , PT. Madinah Qurrata Air, dan PT. Martha Mining
Warga sangat berharap bisa hidup rukun kembali dan tentram. Karena itu kami warga Papua yang hadir ke Jakarta ini mengharapkan pula dukungan keselamatan Suku Woni, Wolani dan Mee dari ancaman sistemis pelaku tambang, kepada organisasi lingkungan, HAM dan adat yang ada di Jakarta.(wlh/bhc/sya)
|