RIAU, Berita HUKUM - Kisruh Pembabatan hutan alam terkait bahan baku pulp dan kertas semakin memprihatinkan. Akibatnya, Greenpeace mendesak ada perhatian serius Kementerian Kehutanan yang menyebut Asia Pulp & Paper menggunakan kayu Ramin dan menjualnya di dalam negeri maupun ekspor lambat diproses.
Indonesia sebenarnya sudah melakukan penerapan konvensi ‘The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)’. Konvensi ini melarang perusahaan melakukan penjualan baik ekspor maupun dalam negeri serta pada produk turunan.
Kentucky Fried Chicken (KFC) pertengahan tahun 2012 dipaksa Greenpeace dan WALHI untuk tidak menggunakan produk yang berasal dari APP. Saat ini, Riau merupakan daerah penghasil pulp dan kertas terbesar. Total kapasitasnya 5,1 juta ton atau sekitar 70 persen dari kapasitas nasional.
“Kondisi saat ini membuat upaya memperbaiki kondisi hutan alam Indonesia yang berkontradiksi semakin terdesaknya hutan alam oleh ekspansi secara terus menerus,” ujar Dedy Ratih, Manager Kampanye dan Advokasi WALHI, anggota IWGFF (Indonesian Working Group on Forest Finance), Rabu (12/12).
APP melalui anak perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk diduga melakukan menggunakan kayu Ramin ilegal dicampur dalam pasokan kayu pada pembukaan hutan alam yang disebut kayu keras tropis campuran atau mixed tropical hardwood (MTH).
Namun, pihak Kementerian Kehutanan membantah bahwa APP melakukan tindak pidana. Sebaliknya, Kemenhut menyatakan justru Greenpeace yang salah melakukan penelitian alias ‘salah alamat’.
“Ternyata, APP tidak salah dan bukan pidana. Justru Greenpeace gak bener,” kilah Ir. Darori MM Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, seperti yang dikutip dari lensaindonesia.com, pada Rabu (12/12).
APP memiliki kapasitas sejak 2007-2012 sebesar 2,30 juta ton per tahun. Pada 2007-2008, APP mengeluhkan kekurangan bahan pasokan bahan baku. PT IKPP selaku anak perusahaan APP mendapatkan sanksi karena terjerat kasus ilegal logging yang pada akhirnya ijin RKT tidak diterbitkan.
Melihat kilas perjalanan APP di Riau. Seringkali terjadi penolakan warga terutama warga adat yang berada di sekitar lokasi.
“Cara APP biasanya babat dulu, ribut baru diselesaikan,” ujar Dedy Ratih.(li/bhc/opn) |