KABINET KERJA, Kerja dan Kerja - Itulah kabinet di bawah rezim Joko Widodo (Yang Terhormat, Presiden Republik Indonesia, Bapak Jokowi) ketika pertama kali melantik menteri-menteri sebagai pembantunya. Pada waktu itu, seolah – olah rakyat bersorak ria, penuh dengan harapan masa depan yang cerah untuk negara dan bangsa Indonesia.
Harapan tinggalah harapan, seolah sekitar 250 juta rakyat negeri ini tidak serta merta menemukan manisnya gula-gula dengan gratis begitu saja, dengan realita.
Betapa tidak, seratus hari kinerja kabinet Kerja di bawah kendali Joko Widodo, masih menyisakan persoalan yang pelik, belum memenuhi harapan rakyat. Persoalan semakin rumit, ketika pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Disisi lain tren harga BBM secara internasional sedang turun, kenapa justru pemerintah menaikan BBM pada saat itu.
Beberapa analis politik sangat menyayangkan kebijakan menaikan BBM tersebut, tidak heran kalau sebagian besar komponen masyarakat banyak yang menentangnya. Demo mahasiswa menentang kenaikan BBM berlangsung diberbagai kota, bahkan sampai memakan korban.
Mendapat perlawan yang begitu masif dari berbagai kalangan, akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan harga BBM. Tidak tanggung-tanggung, presiden sendiri yang mengumumkan penurunan harga BBM tersebut. Tapi dampak kenaikan BBM, sudah berimbas kepada naiknya harga kebutuhan pokok yang secara langsung berimbas bagi rakyat. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintahpun semakin redup.
Sementara, Kebijakan Jokowi lainnya yang justru menyengsarakan rakyat adalah dinaikkannya harga LPG tabung 3kg, naiknya tarif dasar listrik (TDL), dan kenaikan tarif kereta api kelas ekonomi hingga 400%. Semua itu sangat bertentangan dengan jargon Trisakti yang diusung sewaktu kampanye Pilpres. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat kental bernuansa neolib dan menyakitkan rakyat.
“Ternyata Trisakti ditinggalkan dan hanya jadi jualan kampanye, sudah tampak sejak awal. Ini sudah tampak sejak kabinetnya dinamai dengan Kabinet Kerja. Kalau hanya kerja, zaman penjajah Belanda dan Jepang juga digenjot kerja, kerja, kerja. Tapi yang diuntungkan bukan rakyat Indonesia. Blunder Jokowi makin menjadi ketika kabinetnya diisi banyak para penganjur neolib dan berkualitas KW-3. Para menterinya hanya bisa menaikkan harga,” ungkap Rizal Ramli, tokoh yang pernah menyelamatkan PLN dan BII dari kebangkrutan tanpa menyuntikkan dana dan menjual selembar pun saham.
Persoalan semakin rumit, ketika Presiden hendak menetapkan pucuk pimpinan dari 400 ribuan personil di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia. Silang sengketa Polisi versus KPK mencuat kembali (Cicak Vs Buaya II), ditambah statemen dari beberapa orang menterinya yang kurang sedap, menambah keruh persoalan. Sampai kini, pucuk pimpinan nomor satu di lingkungan Polripun masih belum jelas.
Banyak kalangan, analis, pengamat dan aktivis politik, mencoba mengurai sebab musabab, yang terjadi dilingkungan istana selama ini, yang berpolitik semakin panas. Dengan kasat mata, kita menyaksikan bagaimana rumitnya sejak awal duduk di kurs R-1, ketika Presiden Joko Widodo menyususun kabinetnya. Tarik ulur, sampai waktu penetapanya molor.
Padahal sejak awal Presiden Joko Widodo, sudah berteriak lantang, koalisi yang dibangunya bukan untuk bagi-bagi kekuasan. Presiden juga ingin membentuk kabinet yang ramping, namun semua itu hanya isapan jempol. Rupanya tekanan dari kanan dan kirinya, menyebabkan Presiden Joko Widodo sangat hati-hati dalam setiap langkah untuk mengambil keputusannya.
Itulah realita politik, alih-alih ingin menyejahterakan rakyat, namun apa yang dilakukanya justru lebih banyak berseberangan dengan harapan rakyat para pemilihnya. Para pendukung fanatiknya, yang selama masa kampanye begitu gigih membelanya, kini mulai banyak yang balik menyerangnya.
Hari-hari terakhir ini, kisruh Polisi vs KPK justru semakin tajam dan melebar, beberapa media massa -melansir ‘KPK Lumpuh’. Seandainya ini benar, betapa ini sebuah tragedi bagi negeri kita, yang menyebabkan ketidak pastian hukum. Dengan segala kekuranganya saat ini KPK adalah satu-satunya lembaga yang menjadi benteng terakhir untuk mengganyang para koruptor yang telah menyengsarakan rakyat dinegeri ini dan tumpuan harapan penegakkan hukum yang masih lebih baik dan bersih.
Ketika benteng ini sudah rapuh, dengan meminjam istilah sosialog UI, Imam B Prasodjo, ini merupakan kemenangan koalisi besar para koruptor kakap,’ maka bukan tidak mungkin akan porak poranda pula Republik ini, dicengkeram oleh koruptor dan komprador asing.
Kita semua sangat berharap, pemerintah mampu mengurai benang kusut ini, paling tidak ada solusi, agar masyarakat tidak terombang-ambing dengan suguhan ‘drama politik memuakan’ yang selalu menghiasi layar kaca dan situs-situs online.
Maka, sebelum anak negeri ini mendendangkan lagu-lagu revolusi, syair-syair kematian, cepatlah bertindak Mr.Presiden. Ini amanat reformasi...!!, sejalan dengan revolusi mental, tentunya.(bhc/sya/rat)
|