JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Tim Perumus Pengusul Revisi Undang Undang (UU) No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, A Muhajir Sodruddin, SH MH sebagai mantan Anggota DPR RI Periode 2009-2014 Mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian uji materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang diputus MK pada, Rabu (20/9) lalu.
"Saya apresiasi keputusan MK tersebut, Putusan itu sudah tepat dan sejalan, tentu akan disingkronisasikan dengan UU yang baru, yang saat ini yang sedang dibahas di DPR RI," jelas Muhajir Soddrudin, mantan Anggota DPR RI dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) di Jakarta pada, Minggu (24/9).
Muhajir menambahkan bahwa, "Tentu kedepannya keputusan MK ini akan dimasukkan dalam Pasal-pasal revisi UU larangan praktek monopoli dan persaingan usaha," ujarnya.
Dalam Putusan Nomor 85/PUU-XIV/2016 tersebut, Mahkamah menyatakan frasa "pihak lain" dalam Pasal 22 hingga Pasal 24 UU 5/1999 harus dimaknai "pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain".
Adapun bunyi Pasal 22 hingga Pasal 24 UU 5/1999 adalah:
Pasal 22
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Menurut Mahkamah, pasal-pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, menurut Mahkamah, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU 5/1999 harus dimaknai selaras dengan Pasal 1 angka 8 UU 5/1999 yang menyatakan "Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol."
Menurut Mahkamah, makna frasa "pihak lain" dalam Pasal 22 hingga Pasal 24 UU 5/1999 sifatnya tanpa batas dan dapat menjangkau siapa saja. Dengan diubahnya frasa "pihak lain" menjadi "dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain", membuat sifat pasal tersebut menjadi terbatas. "Ini membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus hati-hati dalam menentukan ada tidaknya persekongkolan dalam dunia usaha, yakni harus disertai bukti yang kuat," jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum perkara yang dimohonkan PT. Bandung Raya Indah Lestari tersebut.
Terkait kewenangan KPPU dalam hal penyelidikan/pemeriksaan yang dipermasalahkan Pemohon, Mahkamah menilai hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, KPPU adalah lembaga negara bantu (state auxiliary organ) yang bertugas membantu tugas lembaga negara pokok.
"Selain itu, KPPU bekerja dalam konteks penegak hukum administrasi negara. Hal ini dibuktikan kalau KPPU dapat memberikan sanksi administrasi sesuai Pasal 36 huruf I UU KPPU," tegasnya. Dengan kata lain, ia menegaskan fungsi penyelidikan atau pemeriksaan harus dilihat dalam wilayah hukum administrasi.(ARS/lul/MK/bh/sya) |