JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin mengapreasi keputusan pemerintah yang menetapkan 1 Ramadhan 1435 Hijriyah bertepatan dengan Ahad 29 Juni 2014.
Din menilai pemerintah sudah mengedepankan ukhuwah islamiyah di dalam membahas persoalan ini saat Sidang Isbat yang digelar di Kemenag, Jakarta, Jumat (27/6).
Untuk diketahui, Muhammadiyah berbeda pandangan dengan pemerintah dalam menetapkan awal Ramadan. Tahun ini mereka mengawali ibadah puasa satu hari lebih dulu daripada ketetapan pemerintah, yakni Sabtu 28 Juni 2014.
Di Yogyakarta, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) PP Muhammadiyah, Budi Setiawan, mengajak seluruh umat Islam yang berpuasa besok Sabtu, agar tetap menghormati perbedaan awal puasa besok.
“menghimbau sekaligus mengajak seluruh warga muhammadiyah maupun umat Islam lainnya, untuk sama-sama saling menghormati perbedaan awal puasa, kemudian Indonesia saat ini sedang melaksanakan gelaran pilpres, proses ini jangan sampai menimbulkan Ghibah apalagi fitnah, hal-hal buruk tersebut dapat mengurangi pahala puasa kita. Padahal esensi puasa Ramadhan adalah menahan hawa nafsu dan segala bentuk yang mengurangi pahala puasa kita,” ujarnya saat khutbah tarawih perdana di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta tadi malam (27/6).
Sementara, penentuan awal Ramadhan terjadi perbedaan di antara ormas Islam. Muhammadiyah memutuskan tanggal 1 Ramadhan 1435 H jatuh pada tanggal 28 Juni 2014. Keputusan Muhammadiyah ini diambil setelah melakukan hisab dengan metode hisab hakiki wujudul hilal.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Oman Faturahman, SW. Saat ditemui di lantai 5 gedung Asri Medical Center ketika bersama Tim Observasi dan Astronomi memantau hilal, Jumat sore kemarin (27/6). Oman menambahkan, tanggal 27 Juni pukul 15.10 WIB telah terpenuhi tiga (3) kriteria hisab hakiki wujudul hilal.
Tiga kriteria tersebut antara lain sudah terjadi ijtima’, yaitu konjungsi antara bulan dan matahari. Kemudian, ijtima’ tersebut harus terjadi sebelum maghrib tiba. Dan saat matahari terbenam bulan masih berada di atas ufuk atau horizon, berapapun derajatnya.
“Sebelum terbenam di Yogya, hilal (bulan) berada di atas ufuk sebesar 0 derajat 48 menit. Artinya sudah wujud,” katanya. Namun, pemantauan yang dilakukan oleh tim dari majelis tarjih dan tajdid PP Muhamamdiyah ternyata tidak terlihat, dikarenakan kondisi cuaca yang kurang baik di Yogyakarta.
Oman berpendapat, bahwa pemantauan hilal kemarin Jumat bukan untuk menentukan awal bulan, namun melakukan observasi ilmu pengetahuan. “Bukan hanya hari ini, sering sekali kami melakukan observasi. Diberbagai kesempatan tim astrotogafi Muhammadiyah sering melakukan pemantauan dan perhitungan. Memantau hilal yang dilakukan bukan untuk menentukan awal bulan. Maksudnya untuk menguji hasil perhitungan. Misalnya ada perbedaan, apakah perhitungannya yang salah, atau memang observasinya yang keliru,” ujarnya, seperti yang dilansir muhammadiyah.or.id.
Doktor UIN Sunan Kalijaga ini menambahkan pada prinsipnya, masalah astronomi adalah teori yang berupa perhitungan dan beserta rumus-rumusnya, dengan observasi itu tidak bisa dipisahkan. “Jadi satu dengan yang lainnya saling mengontrol saling menguji saling memperkuat, antara observasi (rukyat) dan perhitungan (Hisab). Jadi bagi Muhammadiyah itu observasi tidak ditinggalkan, tetapi kalau Muhammadiyah dikatakan saat ini memakai hisab, tidak pakai rukyat (karena rukyat melihat hilal untuk menentukan awal bulan),” tutupnya.(dzar/mdy/bhc/sya)
|