JAKARTA, Berita HUKUM - Kamis (11/4) WALHI kembali mengeluarkan laporan tinjauan dan analisa kondisi Lingkungan Hidup Indonesia untuk Kwartal I tahun 2013. Laporan ini merupakan kelanjutan dari Laporan Tahunan Tinjauan dan analisa kondisi Lingkungan Hidup WALHI yang dikeluarkan pada bulan Januari yang lalu. Seperti halnya Laporan yang lalu, WALHI menggunakan protes lingkungan hidup sebagai indikator untuk melihat kemampuan negara dalam menjalankan tugasnya menjamin dan memenuhi hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, kualitas demokrasi serta kapasitas kelembagaan dan kepemimpinan negara.
Kwartal pertama tahun 2013 ini menunjukkan semakin absennya negara dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Bahkan lebih buruk, aparat negara justru terlibat dalam menghambat pemenuhan hak-hak warga negara atas lingkungan hidup, bahkan semakin melanggengkan praktik-praktik buruk yang dilakukan oleh korporasi perusak lingkungan dan perampas hak waga negara atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Angka protes yang meningkat dan tanpa upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh negara, menunjukkan bahwa demokrasi yang sampai saat ini masih terus diperjuangkan berada dalam kerentanan bahaya.
"Kementerian Lingkungan Hidup yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam upaya-upaya penegakan hukum lingkungan hidup terbukti mandul dan tidak menunjukkan peran yang signifikan dalam perlindungan hak-hak warga negara atas lingkungan hidup," demikian dikatakan Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.
Tiga bulan pertama tahun 2013 juga menunjukkan kemunduran yang signifikan dalam kehidupan demokrasi di Republik Indonesia, dimana terjadi legalisasi kriminalisasi terhadap aktivis dan masyarakat yang berupaya menuntut hak hidup dan hak untuk melakukan penghidupannya. Tidak hanya itu, parlemen dalam beberapa hari ke depan ini juga akan mensahkan beberapa Rancangan Undang-undang yang akan berdampak negatif sangat besar terhadap kehidupan berdemokrasi di Indonesia, seperti RUU Pemberantasan Perusakan Hutan dan RUU Ormas. RUU-RUU tersebut jika disahkan akan melegalisasi pembungkaman suara-suara kritis masyarakat, serta akan meningkatkan praktik kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar kawasan hutan yang akan semakin dihambat aksesnya untuk memanfaatkan hutan untuk kebutuhan hidupnya.
"Hampir 15 tahun setelah reformasi, kondisi demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran karena negara secara sistematis mengabaikan hak-hak warga negara dan semakin memberikan keleluasaan bagi korporasi untuk melakukan ekspansi pengerukan kekayaan alam, penghancuran lingkungan dan memicu terjadinya berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM oleh negara," lanjut Abetnego.
Melihat situasi krisis yang multidimensi ini, tidak ada jalan lain, kepemimpinan yang kuat sangat diperlukan untuk membawa Indonesia kembali ke arah menuju demokratisasi dan upaya-upaya perlindungan lingkungan hidup. "Presiden SBY harus mengambil tindakan tegas dan berani dalam masa akhir kepemimpinannya, ini jika tidak ingin meninggalkan warisan konflik sosial dan kehancuran kekayaan alam dan lingkungan hidup serta kemunduran demokrasi di Indonesia. Di akhir masa jabatannya, kami mendesak SBY untuk memastikan hal-hal tersebut di atas tidak akan terus terjadi," pungkas Abetnego Tarigan.(rls/wlh/bhc/sya) |