JAKARTA, Berita HUKUM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mencoret perusahaan-perusahaan perusak lingkungan dari daftar penerima kredit lembaga jasa keuangan.
Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Mulya Siregar mengatakan, rencana tersebut merupakan implikasi dari komitmen pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance) yang mengedepankan keselarasan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Kebijakan tersebut rencananya akan tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) yang akan terbit pada tahun depan.
Sebelumnya, OJK telah menerbitkan peta jalan (roadmap) keuangan berkelanjutan 2015-2019 pada 5 Desember 2014 lalu.
Menurut Mulya, seharusnya lembaga pembiayaan, baik bank maupun non bank, berperan dalam menegakan tiga pilar kesinambungan ekonomian, yakni people (orang), planet dan profit (laba). Mulya mengatakan selama ini lembaga pembiayaan terutama perbankan di Indonesia masih berorientasi pada keuntungan (profit) semata dan mengesampingkan dampak lingkungan dari proyek yang dikerjakan oleh suatu perusahaan.
Dia mengatakan, selama ini kebijakan pembiayaan hanya mengandalkan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai pertimbangan dalam menyalurkan kredit. Namun, hal tersebut dianggap belum cukup sehingga memerlukan kebijakan lebih lanjut yang membatasi kredit untuk perusahaan yang dianggap memberikan dampak eksternalitas negatif bagi lingkungan.
"Amdal saja tidak cukup, kenyataannya banyak proyek yang masih punya dampak negatif kepada lingkungan," ujar Mulya, Selasa (15/11).
Dalam merumuskan kebijakan, menurut Mulya, OJK akan mengacu kepada kebijakan China Banking Regulatory Commission (CBRC). Kondisi pertumbuhan industri China yang pesat diimbangi dengan peningkatan kerusakan lingkungan yang parah mendorong CBRC menerbitkan Green Credit Guidelines pada tahun 2012 yang mencakup pengelolaan risiko lingkungan dan sosial, green lending dan penghijauan operasional bank.
"Di China sudah memasukan sustainable financing kedalam regulasi lembaga jasa keuangannya, kami melihat ini bisa menjadi pertimbangan untuk mengikuti jejak China," ujarnya.
Tak hanya China, OJK juga mengacu kepada beberapa negara lain yang telah menerakan konsep pembiayaan berkelanjutan seperti Mongolia, Brazil, Bangladesh, Kolombia dan Vietnam.
Mulya pun tidak menampik, jika nantinya kebijakan OJK tersebut akan berdampak pada kinerja bank dalam memberikan kredit di tengah situasi pertumbuhan kredit yang lesu. Begitupula untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor komoditas seperti CPO, batubara hingga perusahaan kerta pun terancam tidak akan mendapatkan pembiayaan dari bank jika dalam kegiatan usahanya menimbulkan kerusakan lingkungan.
"Namun, sekarang sudah saatnya perbankan itu mengubah mindset (pola pikir) tidak hanya mengejar profit saja, berpikir lah tiga pilar itu, kalau kita tidak mau berubah tunggu saja lingkungan kita akan semakin parah," ujarnya.
Ia mengklaim rencana tersebut telah mendapat dukungan dari delapan bank dalam negeri yakni Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, Bank Muamalat, BNI Syariah, BJB, dan Bank Artha Graha. Mulya berharap dengan dikeluarkannya POJK Pembiayaan Berkelanjutan pola pikir perusahaan dalam melakukan bisnis kedepannya bisa sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable deveopment).
"Respon perbankan sudah cukup baik, kami minta mereka tidak lagi meng-cover proyek-proyek yang tidak menerapkan SDG," ujarnya.(ags/cnnindonesia/bh/sya)) |