JAKARTA, Berita HUKUM - Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 merupakan salah satu pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengamanatkan untuk membentuk undang-undang yang mengatur mengenai perekonomian nasional. Demikian disampaikan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad selaku Pihak Terkait dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) pada Kamis (18/9) lalu di Ruang Sidang Pleno MK.
Terkait independensi OJK yang dipermasalahkan Pemohon, Muliaman menjelaskan independensi OJK dalam menjalankan fungsi dan tugasnya secara tegas memiliki landasan hukum dan latar belakang yang formal maupun material. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU OJK disebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur di dalam undang-undang ini.
“Di dalam penjelasan umum undang-undang OJK disebutkan bahwa OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang meliputi: independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran, asas independensi antara lain dijabarkan sebagai independen sebagai mengambil keputusan dan pelaksanaan fungsi tugas dan pengawas OJK dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Muliaman pun menuturkan independensi OJK harus dimaknai sebagai independensi di dalam melaksanakan tugas fungsi dan kewenangannya, namun dalam hal ini tidak menghilangkan fungsi koordinasi dengan lembaga lain yang terkait, yaitu Bank Indonesia, Kementerian Keuangan maupun Lembaga Penjamin Simpanan. Hal ini dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan dan independensi dimaksud harus pula disertai dengan mekanisme kontrol dan tidak dimaknai independensi yang sebebas-bebasnya.
Selain dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, lanjutnya, Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 yang mengamanatkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang. “Berdasarkan hal-hal di atas kami berpandangan bahwa sifat independen pada OJK menurut pandangan kami sudah sesuai dengan kebutuhan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan dan tidak bertentangan dengan konstitusi,” paparnya.
OJK Salahi Konstitusi
Pada persidangan tersebut, Pemohon menghadirkan Ahli, yakni Samsul Hadi. Dalam keterangannya, Samsul menerangkan secara konstitusional keberadaan OJK sebagai institusi keuangan super body dan independen sebenarnya juga tidak memiliki kebijakan yang absah di dalam konstitusi Indonesia. Di dalam UUD 1945 hanya diatur tentang independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 ini telah membuat peran Bank Indonesia sebagai otoritas tunggal pengawas dan pengatur bank yang diemban sejak tahun 1953 telah kepada OJK sebagai sebuah lembaga yang bersifat super body. “Sebagai lembaga yang memiliki kedudukan setara dan bahkan memiliki otoritas dibandingkan BI, keberadaan OJK telah menyalahi amanat konstitusi. Fungsi pengawasan dan pengaturan bank seharusnya merupakan tugas konstitusional Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 23D Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tegasnya.
Selain itu, sambungnya, sumber pembiayaan OJK yang berasal dari pungutan yang membebani sektor perbankan dan sektor jasa keuangan lain, sehingga pada akhirnya membuat beban-beban tersebut pada akhirnya juga akan jatuh ke tangan masyarakat. OJK menjalankan pungutan kepada lembaga-lembaga keuangan perbankan dan keuangan non bank yang didasarkan pada asset usaha sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Oleh OJK. “Alih-alih memberikan manfaaat yang nyata, keberadaan lembaga ini justru berpotensi menjadi tambahan beban ekonomi bagi masyarakat,” ujarnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, pemohon merasa lingkup kewenangan OJK telah melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pada dasanya OJK menurut Pemohon hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang berdasarkan pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya tidak sah karena pada pasal tersebut tidak mengatur hal tersebut.
Untuk itulah, dalam tuntutan atau petitum-nya, Pemohon meminta MK menyatakan UU OJK terutama Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 bertentangan dengan UUD 1945. Namun apabila nantinya MK tidak mengabulkan permohonan tersebut, mereka meminta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK dihapuskan. Pemohon juga mengajukan petitum provisi untuk menghentikan sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan sehingga memerintahkan Bank Indonesia mengambil alih sementara.(Lulu Anjarsari/mh/bhc/sya) |